Alasan MK Tolak ‘Gugatan’ INews-RCTI Terkait Tafsir Penyiaran Berbasis Internet
Berita

Alasan MK Tolak ‘Gugatan’ INews-RCTI Terkait Tafsir Penyiaran Berbasis Internet

Tidak ada persoalan konstitusionalitas norma Pasal 1 angka 2 UU 32/2002 sepanjang berkaitan dengan dalil para Pemohon. Dengan demikian, dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.

Aida Mardatillah
Bacaan 4 Menit

Mahkamah menilai memasukkan begitu saja penyelenggaraan penyiaran berbasis internet dalam rumusan pengertian penyiaran sebagaimana didalilkan para Pemohon tanpa perlu mengubah secara keseluruhan UU Penyiaran, justru akan menimbulkan persoalan ketidakpastian hukum. Terlebih, layanan OTT (layanan penyiaran berbasis internet) pada prinsipnya memiliki layanan berbeda dengan penyelenggaran penyiaran yang konvensional.

Hal ini berarti tidak dapat menyamakan antara penyiaran dengan layanan OTT hanya dengan cara menambah rumusan pengertian atau definisi penyiaran dengan frasa baru sebagaimana yang diminta para Pemohon. Sebab, internet bukanlah media atau transmisi dalam pengertian pemancarluasan siaran, karena dalam sistem komunikasi dasar terdiri atas pemancar atau transmitter, media atau kanal, dan penerima.

Jika dikaitkan dengan frasa “media lainnya” yang dimaksudkan dalam pengertian Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran adalah terestrial media udara, kabel dan satelit. Hal ini dengan jelas disebutkan dalam penyelenggaraan penyiaran oleh Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB). 

Mahkamah menegaskan penegakan hukum atas pelanggaran konten layanan OTT sudah diatur dalam UU ITE, UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, UU Pornografi, KUHP, UU Pers, UU Hak Cipta, dan UU sektoral lainnya dengan pengenaan sanksi administratif atau pidana. Karena itu, berlakunya Surat Edaran Menkominfo No. 3 Tahun 2016 tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten melalui Internet yang substansinya mengatur larangan sebagaimana didalilkan para Pemohon tidak dapat dibenarkan. Sebab, pengenaan sanksi sebagai bagian pembatasan HAM yang pengaturannya harus dituangkan dalam UU. 

“Dengan adanya pengaturan sanksi administratif ini menunjukkan tidak ada persoalan kekosongan hukum pengawasan terhadap layanan OTT sebagaimana yang didalilkan para Pemohon,” ujar Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan pertimbangan putusan.

Bila surat edaran itu memberi pemahaman kepada penyedia layanan OTT dan para penyelenggara telekomunikasi untuk menyiapkan diri mematuhi regulasi penyediaan layanan aplikasi dan/atau konten melalui internet (OTT) yang saat ini sedang disiapkan oleh Kemenkominfo, seharusnya substansinya dituangkan dalam peraturan pelaksana undang-undang.

Atau, jika pembentuk undang-undang hendak mengatur secara komprehensif substansi penyiaran konvensional dan layanan OTT termasuk perkembangan kekiniannya dalam undang-undang, hal tersebut merupakan kebijakan hukum pembentuk undang-undang yang sangat dimungkinkan mengingat saat ini UU Penyiaran telah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024. “Berkenaan dengan surat edaran a quo yang dipersoalkan para Pemohon, bukanlah kewenangan Mahkamah untuk menilainya.”

Dengan demikian, dalil para Pemohon yang menyatakan tidak adanya tindakan preventif terhadap layanan konten ilegal karena tidak diatur UU Penyiaran, sehingga meminta Mahkamah mengubah pengertian atau definisi “Penyiaran” agar terhadap konten ilegal layanan OTT dapat dikenakan tindakan preventif merupakan dalil yang tidak berdasar.

“Tidak ada persoalan konstitusionalitas norma Pasal 1 angka 2 UU 32/2002 sepanjang berkaitan dengan dalil para Pemohon. Dengan demikian, dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.”

Tags:

Berita Terkait