Antisipasi Terjadinya Disrupsi Terhadap Jabatan dan Kewenangan Notaris
Kolom

Antisipasi Terjadinya Disrupsi Terhadap Jabatan dan Kewenangan Notaris

Khususnya dalam era revolusi industri 4.0 dan society 5.0 di Indonesia.

Bacaan 2 Menit

 

Saat ini kita berhadapan dengan “musuh-musuh” yang tidak kelihatan, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rheinald Kasali bahwa yang menginovasi lemari es bukanlah sesama produsen es batu, seperti halnya yang menginovasi teknologi kamera digital bukanlah para ahli kimia yang dahulu menciptakan Fuji Film roll maupun Kodak Film roll. Ke depan, yang menciptakan teknologi hukum dan mendisrupsi hukum bukan sesama para ahli hukum atau notaris melainkan ahli IT atau profesi lain yang terkait.

 

Fenomena disrupsi ini sudah terlihat sejak beberapa tahun terakhir di mana para notaris di Indonesia mulai dibebani dengan berbagai tugas baru yang semula menjadi tugas-tugas administrasi instansi lain. Seperti, kewajiban mengenal beneficial owner dari perusahaan yang didirikannya, dianggap sebagai gateaway sehingga dibebani kewajiban melakukan pelaporan transaksi mencurigakan melalui aplikasi GRIPS, melakukan berbagai verifikasi materiil terhadap pendaftaran hak tanggungan secara elektronik, fidusia online, pendaftaran badan hukum dan badan usaha secara online, sampai dengan memahami konsep maksud dan tujuan perusahaan yang akan dibuatkan akta pendiriannya agar selaras pada saat pendaftaran perijinannya nanti melalui system One Single Submission (OSS).

 

Dunia tanpa batas melahirkan kecepatan transaksi-transaksi internasional yang terjadi antar negara yang menganut sistem hukum yang berbeda menjadi suatu keniscayaan. Adanya teknologi block chain, digital contract atau smart contract, digital signature dan berbagai sistem digital teknologi lainnya mengandung ancaman tersembunyi untuk terjadinya shifting (perubahan tatanan dan prilaku) yang mendasar dalam menterjemahkan fungsi dan peran notaris di Indonesia sebagai Pejabat Umum sebagaimana ditetapkan dalam civil law legal system yang perlahan namun pasti mulai bergeser dan cenderung dipaksakan untuk bertindak sebagaimana layaknya Public Notary atau Solicitor yang dikenal dalam common law legal system. (penjelasan tentang perbedaan system common law dan civil law bisa di baca di sini).

 

Cybernotary dan Perbandingannya dengan Notaris Jepang

Tantangan terjadinya disrupsi dan digitalisasi tersebut menggaungkan kembali gagasan sejak tahun 2004 tentang keberadaan Cybernotary. Gagasan cybernotary pada saat itu masih terkendala dengan tidak adanya aturan dasar yang menjadi rujukan. Lahirnya Undang-Undang Informasi dan Transaksi elektronik No. 11 Tahun 2008 disusul dengan perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris No. 2 Tahun 2014 memberikan peluang bagi notaris untuk bekerja secara siber (cybernotary).

 

Kewenangan mana sebagaimana diatur dalam penjelasan pasal 15 ayat 3 yang berbunyi: “….kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan”, antara lain: kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik, membuat akta ikrar wakaf dan hipotik pesawat terbang.” Dengan demikian, terbuka peluang bagi notaris untuk secara legal melaksanakan tugasnya secara elektronik.

 

Konsep cybernotary ini sudah diantisipasi oleh beberapa negara yang juga menganut sistem Eropa Kontinental atau civil law legal system; salah satunya adalah Jepang. Sebagai negara maju dan juga menganut civil law legal system, Jepang sudah memulai era Sistem Notaris Elektronik sejak tahun 2000. Hal mana seperti yang dijelaskan oleh Indra Pranajaya, SH dalam tesisnya yang berjudul “Studi Komparatif Terhadap Jabatan dan Kode Etik Notaris di Indonesia dan di Jepang” pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 2012.

 

Sejak tahun 2000 tersebut Notaris Jepang yang dalam bahasa Jepangnya disebut kooshoonin (公証人) melaksanakan tugas dan jabatannya dengan menggunakan sistem elektronik. Dalam melaksanakan tugas dan jabatannya, kooshoonin tunduk pada Undang-undang jabatan Notaris Jepang No. 53 Tahun 2011 yang mana salah satunya berwenang untuk mengesahkan Dokumen Digital. Di samping kewenangan untuk membuat akta dalam bentuk relaas dan partij akta seperti halnya notaris Indonesia, dengan metode dan tata cara sebagaimana halnya yang diwajibkan kepada profesi notaris di Indonesia, kooshoonin Jepang juga berwenang untuk membuat akta secara digital. Akta Digital ini dibuat dengan Sistem Notaris Elektronik dan disimpan serta dikelola oleh Japan National Notary Association (JNNA), sebuah organisasi profesi notaris resmi di Jepang seperti halnya Ikatan Notaris Indonesia (INI). (selanjutnya bisa di baca di sini).

Tags:

Berita Terkait