Apindo Kritik Materi Muatan RUU Kesehatan
Terbaru

Apindo Kritik Materi Muatan RUU Kesehatan

Materi muatan RUU Kesehatan dikhawatirkan mengancam pelayanan kesehatan bagi peserta BPJS Kesehatan.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Ketua Umum Apindo Haryadi Sukamdani (kedua dari kiri). Foto: Januar
Ketua Umum Apindo Haryadi Sukamdani (kedua dari kiri). Foto: Januar

Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesehatan resmi sudah menjadi usul inisiatif DPR. Babak baru nasib RUU Kesehatan bakal masuk tahap pembahasan tingkat  pertama antara DPR dan pemerintah. Setidaknya RUU tersebut memuat 478 pasal dan 20 Bab. RUU yang penyusunannya menggunakan metode omnibus law itu berkaitan erat dengan dunia usaha dan kesejahteraan pekerja.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Haryadi Sukamdani mengatakan organisasi yang dipimpinnya bakal mendukung upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat termasuk pekerja di dalamnya. Reformasi pelayanan kesehatan melalui Jaminan Sosial (Jamsos), khususnya bagi pekerja sebagai peserta Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan dengan kendali mutu.

Tapi dari aspek kendali biaya agar persoalan kesehatan pekerja tertangani dengan baik dengan beban biaya yang tidak memberatkan. Secara khusus Apindo mencermati substansi RUU Kesehatan terkait Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang mengatur pelayanan kesehatan pekerja dan masyarakat pada umumnya.

Seperti Pasal 423 draf RUU yang mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan beberapa pengaturan baru yang diatur dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan UU No.24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Kemudian dijabarkan dalam Pasal 424 dan 425.

“Apindo mengkhawatirkan bahwa pelayanan kesehatan bagi pekerja sebagai peserta BPJS Kesehatan terancam kualitas pelayanannya akibat sejumlah pengaturan dalam RUU,” ujarnya, Selasa (28/2/2023).

Baca juga:

Apalagi BPJS Kesehatan bakal diwajibkan menerima kerjasama yang diajukan fasilitas kesehatan (Faskes) yang telah memenuhi perizinan sesuai undang-undang yang berlaku. Bagi Apindo, aturan itu bertentangan dengan prinsip sukarela kerjasama BPJS Kesehatan dengan Faskes sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UU24/2011. Dampaknya, membatasi BPJS Kesehatan menyeleksi Faskes yang memenuhi syarat pelayanan.

Dampak lainnya, menurut Haryadi potensi Faskes tidak dapat memberikan pelayanan dengan kualitas yang baik bagi peserta karena terjebak dalam birokrasi pemerintahan. Dunia usaha juga melihat biaya penyelenggaraan BPJS Kesehatan potensial meningkat yang dapat berujung pada kenaikan iuran peserta yang akan membebani pekerja dan pemberi kerja. Hal ini disebabkan tugas BPJS Kesehatan yang pada dasarnya untuk pelayanan yang bersifat promotif, kuratif dan rehabilitatif harus pula melaksanakan penugasan lainnya dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

Sementara dalam Pasal 13 UU 24/2011 tidak terdapat pengaturan tersebut. Penugasan dari Kementrian yang bukan merupakan tugas BPJS Kesehatan potensial membebani Dana Jaminan Sosial (DJS) BPJS. DJS yang merupakan milik peserta dapat tergerus untuk melaksanakan tugas-tugas Kementerian yang semestinya dibiayai dari sumber APBN.

“Akibatnya, peserta yang harus menanggung biaya tugas tersebut melalui iuran yang dibayarkannya. Hal ini bertentangan dengan salah satu dari 9 prinsip SJSN dalam mengelola dana amanat yaitu bahwa DJS yang merupakan dana yang terkumpul dari iuran peserta dan merupakan dana titipan kepada BPJS yang perlu dikelola dan harus digunakan untuk sebesar besarnya kepentingan peserta,” ungkapnya.

Hal lain yang potensial membebani DJS seperti pelayanan kesehatan rawat inap tanpa batas yang memberikan beban berlebihan terhadap DJS. Sedianya pelayanan kesehatan rawat inap seyogianya berpatokan pada penanganan yang wajar terkait indikasi medis dan standar pelayanan medis pra dan pasca-rawat jalan.

Dia menyorot tata kelola BPJS yang diubah dalam RUU Kesehatan mengancam kemandirian BPJS yang dapat berujung pada tidak efektifnya kerja BPJS Kesehatan. Akibatnya,  BPJS tidak mandiri, yang tercermin pada pertanggungjawaban BPJS yang semula langsung ke Presiden, diubah menjadi melalui Menteri Kesehatan (Menkes). Sebagai Badan hukum publik yang mengelola dana masyarakat, secara kelembagaan posisi BPJS sudah tepat bertanggung jawab langsung ke Presiden, tanpa melalui Kementerian.

Sebab, pertanggungjawaban melalui Menkes menempatkan BPJS sebagai subordinasi Kementerian yang memperpanjang birokrasi sehingga tidak efektif dan efisien. Hal bertentangan dengan semangat UU 40/2004 agar ada kemandirian BPJS tidak mundur semasa Asuransi Kesehatan (Askes) berada di bawah Kementerian BUMN. Selain itu, mengacu  Instruksi Presiden No. 1 tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksaan Program Jaminan Kesehatan Nasional, BPJS dalam melaksanakan tugasnya pun berhubungan dengan kementerian dan lembaga lainnya.

Soal berkurangnya keterlibatan masyarakat dalam bentuk keterwakilan berpotensi menjadikan BPJS menjadi tidak independen. Hal ini terlihat pada Panitia Seleksi Dewan Pengawas dan Direksi BPJS yang diusulkan oleh Menteri Kesehatan ke Presiden, tidak lagi oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).

Bagi Haryadi, ketentuan mengatur BPJS tidak dapat menghentikan kepesertaan tanpa kekuatan hukum yang bersifat tetap dan atas permintaan peserta juga menyebabkan ketidakpastian. Relasi kerja antara pemberi kerja dengan pekerja bisa diakhiri berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak tanpa harus berdasarkan kekuatan hukum yang bersifat tetap, berdasarkan sejumlah prasyarat yang telah diatur dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

“Berdasar pertimbangan pertimbangan tersebut, Apindo mengharapkan agar klaster Jaminan Sosial dikeluarkan dari RUU agar lebih dapat menjamin pelayanan kesehatan yang berkualitas kepada pekerja/peserta dan tidak menyebabkan beban biaya tambahan bagi pekerja dan pemberi kerja,” katanya.

Dia menyarankan, RUU Kesehatan fokus pada rumpun bidang yang merupakan lingkup kewenangan Kementerian Kesehatan untuk reformasi kesehatan dan tidak menerabas lingkup bidang lainnya. Namun, bila ditujukan untuk perbaikan kebijakan terkait SJSN melalui pendekatan omnibus law fokus di sektor jaminan sosial.

Sementara anggota DJSN Profesor Soeprayitno, menyampaikan rencana BPJS di bawah Kemenkes dalam RUU Kesehatan merupakan langkah mundur. Sebab, sejak kehadiran UU BPJS pada 2011 sudah mengubah status BPJS Kesehatan di luar Kemenkes.

“Ini namanya pembonsaian BPJS dan menghilangkan kemandirian BPJS,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait