Aturan Unbundling UU Ketenagalistrikan Dipersoalkan
Berita

Aturan Unbundling UU Ketenagalistrikan Dipersoalkan

Sudah pernah diputus sebelumnya. Ada dalil yang berbeda.

ASH
Bacaan 2 Menit
Aturan <i>Unbundling</i> UU Ketenagalistrikan Dipersoalkan
Hukumonline
DPP Konfederasi Serikat Nasional (KSN) mengikuti sidang perdana pengujian sejumlah dalam UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan di MK. Spesifik, KSN memohon pengujian Pasal 10 ayat (2), (3), (4); Pasal 11 ayat (3), (4); Pasal 20; Pasal 33 (1), (2); Pasal 56 ayat (1), (2), (4) UU Ketenagalistrikan yang dinilai memuat sistem unbundling (pemisahan usaha) atau melepas usaha sektor kelistrikan kepada pihak lain.

“Pasal-pasal itu mengandung liberalisasi ketenagalistrikan,” kata Presiden KSN Ahmad Daryoko dalam sidang pemeriksaan pendahuluan. Sidang perdana dipimpin ketua majelis Arief Hidayat di ruang sidang MK, Rabu (08/1).

Daryoko mengungkapkan novum (bukti baru) pengujian ini didasarkan email dari consultant ADB. Dia menyampaikan beberapa hal diantaranya liberalisasi sektor ketenagalistrikan didasarkan UU No. 30 Tahun 2009, berakhirnya monopoli, penerapan mekanisme pasar bebas. “Ini berarti privatisasi PLN akan segera berlangsung, email PSI ADB ini akan jadi bukti permohonan kami,” katanya.

Dia menilai sejumlah pasal dalam UU Ketenagalistrikan itu jelas hanya menjadi instrumen modal untuk mengeruk keuntungan pribadi. Rakyat hanya dipandang sebagai konsumen yang akan menyengsarakan rakyat disebabkan terjadinya mekanisme pasar bebas.

“Ada berita dari Republika online, intinya pembangkit transmisi dan distribusi listrik sudah boleh dikuasai asing kisaran 95-100 persen. Ini artinya, akan terjadi vertical unbundling. Nantinya pembangkit, transmisi, distribusinya sendiri-sendiri yang dikelola asing,” ujarnya khawatir.

Dengan begitu, kata Daryoko, sejumlah ahli pemerintah dalam pengujian UU Ketenagalistrikan pada tahun 2010 lalu yang menampikan terjadinya liberalisasi sektor kelistrikan, tidak benar. Karena itu, KSN meminta agar pasal-pasal yang esensinya memuat unbundling itu dibatalkan karena bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945. “Pasal-pasal itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar mantan Ketua Serikat Pekerja PLN ini.

Ketua Majelis Panel, Arief Hidayat mengingatkan permohonan ini sudah pernah diuji melalui putusan MK No. 149/PUU-/2009 yang dimohonkan Serikat Pekerja PT PLN. Namun, MK menolak permohonan ini. “Pasal 10, Pasal 11 hingga Pasal 56 UU Ketenagalistrikan sudah ditolak MK dan pasal batu ujinya juga sama. Yang pasal baru hanya Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan,” kritik Arief.

Dia mengatakan putusan bernomor 001-021-022/PUU-I/2003 dan No. 149/PUU-/2009 sudah jelas. Misalnya, dalam putusan MK tahun 2003 disebutkan MK berpendapat cabang produksi dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 di bidang ketenagalistrikan harus ditafsirkan sebagai satu-kesatuan antara pembangkit, transmisi, dan distribusi. “Hal ini mencerminkan satu kesatuan usaha yang diprioritaskan dilakukan oleh BUMN,” kata Arief.

Dalam putusan No. 149, MK berpendapat UU No. 30 Tahun 2009 membuka kemungkinan unbundling dalam bidang ketenagalistrikan. Namun, dengan adanya Pasal 3 dan Pasal 4 UU itu, sifat unbundling-nya berbeda dengan unbundling menurut Undang-Undang Ketenagaistrikan yang lama (UU No. 20 Tahun 2002). Sebab, tarif dasar listrik masih ditentukan negara.

“Jika dalam praktik terjadi seperti itu, bukan berarti itu berhubungan dengan pasal-pasal itu, tetapi berhubungan dengan pelaksanaan putusan MK yang tidak diikuti secara konsisten. Jadi ini tataran implementasi norma, tidak menyangkut konstitusionalitas lagi,” ujarnya mengingatkan.

Anggota Panel, Patrialis Akbar menyarankan agar permohonan menguraikan pertentangan normanya atau diuraikan pasal per pasal yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945. “Ini harus diuraikan, agar bisa meyakinkan MK,” kata Patrialis menambahkan.
Tags: