Aturan Pembebasan Lahan Persulit Sektor Energi
Berita

Aturan Pembebasan Lahan Persulit Sektor Energi

Pembebasan lahan harus melalui BPN. Pengembangan energi alternatif menjadi terhalang

CR-14
Bacaan 2 Menit
Aturan Pembebasan Lahan Persulit Sektor Energi
Hukumonline

Perusahaan yang beroperasi di sektor energi masih sulit mengembangkan energi alternatif dan eksplorasi sumber-sumber energi baru. Ketentuan-ketentuan terbaru pembebasan lahan dianggap turut andil mempersulit perusahaan mendapatkan dan menggarap lokasi energi baru. Apalagi jika ada pejabat daerah yang menyalahgunakan aturan pertanahan untuk kepentingan pribadi.

Pasal 7 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2012tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum menyebutkan pembebasan lahan untuk kepentingan pengeboran minyak dan gas diselenggarakan berdasarkan Rencana Strategis dan Rencana Kerja Instansi yang memerlukan tanah. Aturan teknis UU ini dituangkan dalam Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) No. 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pengadaan Tanah.

Direktur Operasi Pertamina Hulu Energi, Eddy Purnomo, mengaku seringkali mengalami kesulitan saat hendak membebaskan lahan untuk pengembangan lapangan produksi. Rencana Pertamina Hulu Energi untuk melakukan masifikasi proyek eksplorasi gas metana batubara (coal bed methane/CBM) dan shale gas justru terkendala karena kesulitan membebaskan lahan. Padahal CBM dan shale gas hendak dikembangkan menjadi energi alternatif di masa mendatang.

Pertamina Hulu Energi ingin mengembangkan CBM di suatu lokasi. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) di daerah tersebut 40 ribu rupiah per meter. Masyarakat meminta harga NJOP yang berlipat ganda, 350 ribu rupiah per meter. Kenyataan ini, kata Eddy, menunjukkan bukan hanya masalah izin yang dihadapi perusahaan, tetapi juga proses negosiasi harga berkepanjangan dengan masyarakat. Izin dalam konteks ini juga meliputi corporate profiling  dan isu-isu lingkungan hidup.

“Prosesnya panjang jika harus negosiasi dengan masyarakat terkait dengan penetapan NJOP lahan,” ungkapnya kepada hukumonline di kantor Pertamina Pusat, di Jakarta, Senin, (11/2) kemarin.

Tetapi proses mendapatkan dan membebaskan lahan saja sudah menghabiskan banyak waktu bagi perusahaan. Eddy mengeluhkan aturan pembebasan lahan yang jelimet dan sering tumpang tindih. Beruntunglah, Pertamina dibantu SKK Migas. “Yang maju SKK Migas. Kami di belakangnya. Jadi kami akan dibantu SKK Migas,” ujarnya. 

Vice President Aset Jawa dan CBM Pertamina, Budi Tamtomo, meyakini sebagian besar  Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S), terutama yang beroperasi pada wilayah onshore, sering menghadapi masalah pembebasan lahan. Apalagi jika dikaitkan dengan Peraturan Kepala BPN No. 5 Tahun 2012.

Budi menilai ketentuan yang mengharuskan pembebasan lahan harus lewat BPN membuat lebih rumit dan birokratis. Pasal 1 Peraturan Kepala BPN menyebutkan pengadaan tanah dilaksanakan oleh Kakanwil BPN selaku ketua pelaksana pengadaan tanah. “Ini yang tidak bisa kita prediksi lagi karena mekanisme teknis yang akan dilakukan oleh BPN sendiri sampai saat ini masih belum kita ketahui,” tandasnya kepada hukumonline.

Sebelumnya, Pertamina bisa langsung berhubungan dengan masyarakat atau pemilik tanah. Sekarang, harus melewati BPN. “Ini yang barangkali menjadi masalah yang lebih rumit daripada sebelumnya,” Budi menambahkan.

Semangat otonomi yang kebablasan turut menambah beban pengusaha. Pertamina masih sering menghadapi rintangan dalam proses perizinan yang dibuat daerah, terutama waktu yang bertele-tele. Meskipun demikian, hambatan yang dihadapi Pertamina bergantung pada kondisi masyarakat setempat.

Tags: