Aturan Pengelolaan Rusun Perlu Dibenahi
Berita

Aturan Pengelolaan Rusun Perlu Dibenahi

Developer kerap menjadi pengurus tatkala unit rusun masih banyak yang belum terjual. Tak ayal penghuni dijadikan obyek sapi perah oleh pengurus perhimpunan rusun yang sebagian besar pengelola sekaligus developer itu sendiri.

M-7
Bacaan 2 Menit
Aturan Pengelolaan Rusun Perlu Dibenahi
Hukumonline

Pengelolaan rumah susun (rusun) dan apartemen bukanlah suatu hal yang mudah. Apalagi masalah ini diperparah dengan belum memadainya peraturan tentang rusun. Kondisi inilah yang berpotensi mengakibatkan konflik dalam pengelolaan rusun.

 

Beberapa masalah pengelolahan rusun kerap muncul, mulai dari penentuan besaran dan pengelolaan service charge, mekanisme hubungan antara badan pengelola dan atau developer dengan perhimpunan penghuni, hingga etika berinterkasi antar sesama penghuni apartemen atau rumah susun. Oleh karena itu, penyelesaian 'konflik' pengelolaan rusun lewat aturan main yang jelas, sudah menjadi kebutuhan yang tak bisa ditunda-tunda lagi.

 

Menurut Erwin Kallo, pengamat Hukum Agraria dan Praktisi Hukum bidang Pertanahan, UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun yang berlaku hampir 25 tahun dibuat untuk mengatasi permukiman bagi kaum urban perkotaan, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah. "Artinya target user dari undang-undang itu adalah masyarakat berpenghasilan rendah," ujar Erwin ketika menjadi pembicara dalam seminar ‘Implementasi dan Permasalah Hukum Pengelolaan Rumah Susun di Indonesia', Rabu (19/8).

 

Erwin menceritakan, di awal tahun 90-an, rusun mulai booming. Para developer mempunyai ‘mainan baru' produk properti yang dalam bahasa marketingnya apartemen. Konsep apartemen adalah strata title namun pada hakikatnya adalah rusun. PT Procon Indah sebagai satu-satunya agen properti pada saat itu mencetak rekor tinggi triliunan rupiah.

 

Motivasi membeli unit apartemen dan rusun tidak hanya untuk dihuni, tapi juga untuk investasi. Artinya, rusun bukan lagi kebutuhan dasar akan perumahan bagi orang berpenghasilan rendah, melainkan objek investasi hingga mengarah spekulatif. Kala itu, melalui sistem penjualan Pre-Project Selling, arus kas pengembang rusun sangat aman, sepanjang uang konsumen masuk terlebih dahulu walaupun serah terimanya 18 bulan kemudian.

 

Memasuki tahun 2000, konsumen mulai cerdas, pembayaran dilakukan sesuai dengan progres pembangunan rusun. Saat itu banyak developer selaku penyelenggara pembangunan yang mulai kesulitan dana. Di sinilah potensi konflik mulai terbentuk dan terakumulasi hingga saat pengelolaan rusun.

 

Menurut Erwin, permasalahan yang sering terjadi dalam pengelolaan rusun  terkait dengan Pengurus Perhimpunan Rumah Susun (PPRS). PPRS yang didominasi oleh para karyawan developer seringkali menimbulkan ketidakpercayaan bagi sebagian pemilik/penghuni rusun yang bersangkutan.

 

Sesuai aturan, pemilihan pengurus dilakukan berdasarkan suara terbanyak. Masalahnya, developer yang masih mempunyai banyak unit rusun, mempunyai hak untuk menentukan siapa yang menjadi penguru. Hal ini diperparah dengan kepedulian pemilik atau penghuni rusun yang menghadiri rapat PPRS itu. Akibatnya, ketika rapat penghuni tidak mempunyai suara yang signifikan untuk menentukan pilihan mereka.

 

Ketentuan mengenai siapa pengelola rusun sebenarnya sudah ditegaskan dalam PP No. 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun. Pasal 64 menyebutkan, Pengelolaan terhadap rumah susun dan lingkungannya dapat dilaksanakan oleh suatu badan pengelola yang ditunjuk atau dibentuk oleh perhimpunan penghuni. Pengelolaan rusun ini meliputi kegiatan-kegiatan operasional yang berupa pemeliharaan, perbaikan dan pembangunan prasaran lingkungan serta fasilitas sosial. Pembiayaan pengelolaan bagian bersama dan tanah bersama dibebankan kepada penghuni atau pemilik secara propersional melalui perhimpunan penghuni.

 

Masalahnya, kata Ibnu Tadji HN, Ketua Umum Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesia, penghuni dijadikan obyek sapi perah oleh PPRS yang sebagian besar pengelola sekaligus developer itu sendiri. Penghuni, lanjut dia, dijadikan sumber pendapatan dengan modus penerapan iuran dengan cara iuran tinggi atau tidak wajar, ditambah lagi tidak adanya transparansi dan akuntabilitas. Good corporate governance tidak dijalankan dalam mengelola rusun dan tidak ada check and balance, tutur Ibnu.

 

Tiga Hak Suara

Prof. Arie S. Hutagalung, pakar sekaligus dosen Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Indonesia menjelaskan hak suara anggota perhimpunan penghuni rusun terdiri dari tiga hak suara. Pertama, hak suara penghunian, yaitu hak suara para anggota untuk menentukan hal-hal yang menyangkut tata tertib, pemakaian fasilitas bersama dan kewajiban pembayaran iuran atas pengelolaan dan asuransi kebakaran terhadap hak bersama. Suara pada kelompok ini one vote one unit.

 

Kedua, hak suara pengelolaan yang mana memiliki jumlah yang paling besar. Hak suara ini digunakan untuk menentukan hal-hal yang menyangkut pemeliharaan, perbaikan dan pembangunan prasaraaan lingkungan serta fasilitas sosial yang dihitung berdasarkan Nilai Perbandingan Proporsional (NPP) dari satuan rusun. Lalu ketiga, hak suara pemilikan yang digunakan untuk menentukan hal-hal yang menyangkut hubungan antar sesama penghuni satuan rusun, pemilihan pengurus dan biaya-biaya atas satuan rusun. hak suara ini dihitung berdasarkan NPP satuan rusun.

 

Menurut Arie, penentuan hak suara anggota ini tidak menunjukkan keadilan, karena dalam kenyataannya seringkali rusun dalam satu tower masih kosong sehingga NPP besar dan pengelola akhirnya yang memiliki suara terbesar. Sebaiknya, lanjut Arie, hak suara tersebut tergantung pada siapa yang hadir dalam rapat perhimpunan penghuni

 

Baik Arie, Ibnu Tadji maupun Erwin Kallo sepakat bahwa UU No. 16/1985 dan PP No. 4/1988 tentang Rumah Susun sudah tidak lagi mengakomodir kebutuhan akan rusun di Indonesia saat ini. Oleh karena itu, mereka mendesak agar kedua aturan itu direvisi.

 

Menurut Erwin, sebagai salah satu sumber pemasukan pemerintah dan pencipta lapangan pekerjaan, sebaiknya pemerintah memperhatikan perkembangan rusun. Dia menyarakan  pemerintah agar membentuk lembaga khusus guna mengawasi kegiatan penyelenggaraan/pengelolaan rusun, membuat aturan khusus yang memisahkan antara rusun hunian dan nonhunian.

 

Masih saran Erwin, dalam penyusunan aturan-aturan yang menyangkut rusun, semestinya pemerintah menggali berbagai aspek dan permasalahan dari semua unsur stakeholder, termaksuk masyarakat penghuni atau komunitas rusun, praktisi yang berkecimpung di bidang tersebut.

Tags: