Audit Investigatif Wajib Persetujuan BPK
Utama

Audit Investigatif Wajib Persetujuan BPK

Seorang tersangka kasus korupsi mempersoalkan keabsahan audit investigatif yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan. BPK ajukan bukti surat keputusan.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Pakar Hukum Pidana Mudzakkir. Foto: Humas MK
Pakar Hukum Pidana Mudzakkir. Foto: Humas MK
Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) menegaskan setiap pemeriksaan investigatif yang dilakukan BPK perwakilan harus melalui persetujuan BPK (pusat). Selama ini pun tidak ada pemeriksaan investigatif yang dilakukan BPK perwakilan tanpa melalui persetujuan BPK (pusat). Hal ini diatur dalam Keputusan BPK No. 17/K/I-XIII.2/12/2008 tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan Investigatif atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi yang mengakibatkan kerugian negara/daerah.

Penegasan BPK itu sejalan pula dengan pandangan ahli hukum pidana UII Yogyakarta, Mudzakkir, saat tampil sebagai ahli dalam sidang pengujian UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Eddy Mulyadi Soepardi, anggota BPK yang tampil mewakili lembaganya di sidang Mahkamah Konstitusi, Senin (10/11), mengatakan keputusan BPK yang mewajibkan persetujuan dalam audit investigatif merujuk pada kata ‘dibantu’ dalam Pasal 34 ayat (1) UU Badan Pemeriksa Keuangan. “Keputusan BPK itu sebagai implementasi kata ‘dibantu’ dalam Pasal 34 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK yang mengatur penugasan para pelaksana BPK,” ujarnya

Pasal 34 ayat (1) menyebutkan BPK dapat ‘dibantu’ oleh BPK perwakilan provinsi. Sedangkan Pasal 13 UU No. 15 Tahun 2004 menyebutkan “Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan atau unsur pidana.”

Eddy menjelaskan dalam Surat Keputusan BPK No. 39/K/I-VIII.3/7/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pelaksana BPK diatur hubungan board/badan (BPK pusat) dengan BPK perwakilan. Hubungan itu berupa kewajiban menyampaikan laporan dari pelaksana BPK termasuk BPK perwakilan yang menerima penugasan dari BPK.

Eddy membantah BPK perwakilan dapat bertindak di luar kewenangannya berupa pemeriksaan investigatif secara mandiri tanpa didahului perintah langsung dari board atau badan (BPK pusat). Hal itu bertentangan dengan prinsip pelimpahan wewenang dalam hukum administrasi.

“Dalam perkara ini, digunakan atau tidaknya laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK Perwakilan Sumatera Utara atas pengelolaan keuangan pada Dinas PU Kabupaten Deli Serdang yang merupakan diskresi hakim yang bukan persoalan konstitusionalitas,” ujar Eddy.

Menurut dia, kata “dapat” dalam Pasal 13 UU No. 15 Tahun 2004 merupakan bagian dari kearifan professional dan bukan kewajiban yang absolut. Kearifan professional tersebut tidak lantas diartikan semau-maunya atau sewenang-wenang. Sebab, BPK memiliki berbagai pertimbangan seperti diatur Keputusan BPK No. 17/K/I-XIII.2/12/2008. “Dengan begitu, frasa ‘dapat’ dalam Pasal 13, Pasal 11 huruf c dan Pasal 34 ayat (1) UU BPK sepanjang kata ‘dibantu’ dan ‘perwakilan’ tidak bertentangan UUD 1945.”

Dalam persidangan, majelis yang dipimpin Hamdan Zoelva meminta BPK menyerahkan surat keputusan BPK itu sebagai bukti. Selanjutnya, sidang ditunda pada Selasa 25 November 2014 untuk mendengar ahli yang diajukan BPK.

Melalui tim kuasa hukumnya, pemohon Faisal yang tersangkut kasus korupsi di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara mempersoalkan Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) UU BPK dan Pasal 11 dan Pasal 13 UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Ketentuan itu dinilai multitafsir karena belum tegas menjelaskan siapa yang berwenang menetapkan kerugian negara.

Pemohon  meminta MK membuat tafsir atas  frasa “dengan keputusan BPK” dalam Pasal 10 ayat (2) UU BPK. Termasuk meminta tafsir Pasal 13 UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang menyebut BPK dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif untuk mengungkap ada tidaknya kerugian negara. Menurut pemohon banyak pemeriksaan yang bukan hasil pemeriksaan investigatif termasuk kasus yang dialami pemohon.

Untuk diketahui, pemohon telah ditetapkan sebagai tersangka terkait Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) pengelolaan keuangan negara pada Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Deli Serdang Tahun Anggaran 2008, 2009, dan 2010. Jaksa menyidik perkara ini berdasarkan alat bukti ikhtisar LHP tersebut. Menurut pemohon penetapan nilai kerugian negara yang paling berhak adalah BPK (bukan perwakilan BPK). Nantinya, penetapan nilai kerugian itu menjadi alat bukti kerugian negara.
Tags:

Berita Terkait