Awas, Melakukan Pernikahan Secara Terpaksa Bisa Dipidana
Terbaru

Awas, Melakukan Pernikahan Secara Terpaksa Bisa Dipidana

Langkah hukum yang dapat diambil ketika menikah karena terpaksa disertai ancaman adalah pembatalan perkawinan, bukan perceraian.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit

Catatan lain yang perlu diketahui adalah ancaman pidana berupa denda pada Pasal 355 ayat (1) KUHP tersebut harus disesuaikan dengan Pasal 3 Perma 2/2012 yang dilipatgandakan 1.000 (seribu) kali menjadi denda paling banyak Rp4,5 juta.

Kemudian, terkait Pasal 335 KUHP, R. Soesilo, dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan bahwa yang harus dibuktikan dalam pasal ini adalah (hal. 238 – 239): Bahwa ada orang yang dengan melawan hak dipaksa untuk melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu, atau membiarkan sesuatu; Paksaan itu dilakukan dengan memakai kekerasan, suatu perbuatan lain, ataupun ancaman kekerasan, ancaman perbuatan lain, baik terhadap orang itu, maupun terhadap orang lain.

Lebih lanjut, R. Soesilo menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “memaksa” adalah menyuruh orang melakukan sesuatu demikian rupa, sehingga orang itu melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak sendiri (hal. 239).

Maka, apabila seseorang dipaksa menikah dengan wanita tersebut disertai ancaman kekerasan terhadap Anda dan/atau keluarga Anda patut diduga termasuk perbuatan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 335 ayat (1) KUHP.

Berkaitan dengan permohonan pembatalan perkawinan terdapat batasan waktu untuk mengajukan permohonan pembatalan karena ancaman yang melanggar hukum. Yaitu, jika ancaman telah berhenti dan dalam jangka waktu 6 bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur (Pasal 27 ayat (3) UU Perkawinan jo. Pasal 72 ayat (3) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI))

Adapun pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan, berdasarkan Pasal 23 UU Perkawinan, yaitu: para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri; suami atau istri; pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;

pejabat yang ditunjuk dalam Pasal 16 ayat (2) UU Perkawinan dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait