Azas Retroaktif Masih Diperdebatkan
Berita

Azas Retroaktif Masih Diperdebatkan

Jakarta, hukumonline. Azas retrokatif (berlaku surut) dalam amandemen Kedua Pasal 28 I (1) masih diperdebatkan. Alasannya, untuk menghukum pelanggar HAM pada masa lalu dapat digunakan Undang-undang yang baru.

Nay/Ari/APr
Bacaan 2 Menit
Azas Retroaktif  Masih Diperdebatkan
Hukumonline

Prof. J.E. Sahetapi dari F-PDIP menyoroti Pasal 28 I (1). "Sebetulnya saya sudah tanyakan hal itu, tapi ada yang menyatakan bahwa asas nonretroaktif itu hanya pada masalah-masalah yang normal biasa," katanya kepada hukumonline.

Namun mengenai Gross Human Violation, misanya Genocide, mau tidak mau kita harus perhatikan dokumen-dokumen hukum internasional. "Dan di situ diizinkan untuk azas retroaktif. Jadi walaupun di konstitusi tidak dicantumkan, saya dapat penjelasan begitu," ujarnya

Ia menyatakan, mengenai masalah ini juga harus diperhatikan bahwa hukum itu tidak macet. "Kalau kita berpegang pada apa yang telah diajarkan guru besar kita, hukum tidak berlaku surut. Tapi tapi apa memang begitu? Sama saja seperti saya belajar hukum tidak boleh dicampuradukkan dengan politik. Setelah saya lulus dan mengajar, hukum digodok di dalam lembaga politik (Dewan Perwakilan Rakyat). Bagaimana dia mau lepas dari politik, kan tidak mungkin."

Sehubungan dengan pasal 28 I, amandemen UUD 1945 tentang Hak Azasi Manusia (HAM), banyak orang yang mengatakan bahwa atas pasal-pasal tersebut tidak memberikan peluang bagi pelaksanaan prinsip-prinsip retroaktif.

Pengecualian

Jacob Tobing dari F-PDIP menyatakan untuk pasal 28 I ada pengecualian pembatasan yang diatur dalam pasal berikutnya yaitu pasal 28 J. "Kita juga harus menyesuaikan diri dengan ketentuan lain yang mengikat kita," ujarnya.

Jacob menambahkan, ada beberapa pengecualian yang pada dasarnya adalah apabila itu menyangkut pelanggaran HAM berat. Prinsip retroaktif bisa dilakukan, tetapi terhadap hal-hal tertentu saja. Maksudnya, dapat digunakan Undang-Undang baru untuk masalah-masalah yang menyangkut pelanggaran HAM berat yang sudah terjadi sebelum Undang-undang tersebut diberlakukan.

Menurut Jacob, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional juga dapat menggunakan Undang-Undang yang baru, tetapi tetap saja tidak bisa digeneralisasi untuk seluruh masalah. "Harus diteliti satu per satu apakah termasuk pelanggaran ham berat atau tidak."

Jacob menyatakan, pasal 28 i sudah disepakati oleh seluruh fraksi dan telah disepakati pula untuk mengadakan pasal-pasal pengecualian. "Dalam konferensi internasional pun kita sudah ikut meratifikasi."

Senada dengan Jacob, Theo L. Sambuaga dari Fraksi Partai Golkar menyatakan bahwa Pasal 28 i amandemen itu memang murni diadopsi dari konferensi HAM internasional. Namun atas hal tersebut, telah pula dibuat pengecualian-pengecualiannya sebagaimana diatur dalam Pasal 28 J. "Jadi sebenarnya prinsip retroaktif dapat digunakan," kata Theo.

Peradilan ad hoc

Mulyana W. Kusumah dari KIPP menyatakan, itulah hal yang standar, baik dalam statuta-statuta internasional atau dalam ICC. Dalam prinsip legalitas yang berlaku di hukum negara manapun, azas non retroaktif itu memang dicantumkan dalam hukum pidana manapun. "Jadi memang itu harus dicantumkan," kata Mulyana.

Mulyana menambahkan, bahwa dalam praktek nanti akan ada peradilan ad hoc mengenai pengadilan HAM yang berjalan ke belakang, itu soal lain. Namun sebagai azas dalam konstitusi itu memang harus dicantumkan.

Menurut Mulyana, hal ini tidak mengeleminasi proses hukum yang sedang berjalan. Pasalnya, kalau nanti RUU peradilan HAM diterima, bisa diterima juga peradilan adhoc HAM. Peradilan ini dibentuk dengan Keppres atas usul DPR yang bisa mengadili peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM ke belakang.

Namun pengecualian dalam Pasal 28 itu tidak perlu mencantumkan hal-hal seperti itu. "Kita tidak akan mengeliminasi itu. Kita harus melihat lebih jauh dalam Undang-Undang 39/1999 ttg HAM dan nantinya dalam RUU Peradilan HAM yang sedang dibahas. Justru kita dianggap janggal jika tidak mencantumkannya sebagai HAM yang penting."

Mulyana menyatakan, peristiwa pelanggaran ysng lalu dapat diadili dengan 2 cara. Pertama, dengan peradilan ad hoc yang berdasarkan RUU Peradilan HAM. Kedua, diselesaikan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsilisasi Nasional (KKRN). Jadi bukan berarti pelanggaran HAM yang lalu tidak akan diadili. KKRN akan berisi 3 hal yaitu investigasi, amnesti politik, dan santunan atau rehabilitasi korban.

 

 

 

 

Tags: