Bagaimana Pemidanaan Korporasi Sebaiknya Dilakukan? Ini Kata Hakim Agung
Berita

Bagaimana Pemidanaan Korporasi Sebaiknya Dilakukan? Ini Kata Hakim Agung

Penuntutan harusnya dilakukan bersamaan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit

Apalagi korporasi mempunyai kontribusi besar bagi negara seperti dalam hal pembayaran pajak, dan memberi lapangan kerja kepada masyarakat. Sayangnya ada sejumlah korporasi yang melakukan perbuatan melawan hukum, oleh karenanya proses penegakan hukum kepada korporasi juga mempunyai pendekatan yang berbeda dengan pelaku kejahatan yang dilakukan orang per orang.

“Saya punya filosofi pentersangkaan korporasi jangan sampai ditunggu korporasi mati. Saya melihat sisi penyelamatan korporasi sebagaimana tersangka. Sebagaimana Perma korporasi tujuanya bukan kriminalisasi tapi supaya perusahaan good culture corporate,” jelasnya. Perma dimaksud adalah Peraturan Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.

Asisten Khusus Jaksa Agung, Narendra Jatna berpendapat di Kejaksaan masih ada perbedaan pandangan terkait isu ini. Ada yang menganggap jika pelaku materil atau pengurus telah didakwa maka korporasinya tidak dapat didakwa juga dengan alasan ne bis in idem. Sementara ada juga jaksa yang memandang bahwa dakwaan dan tuntutan terhadap pengurus tidak menghilangkan pertanggungjawaban korporasinya itu sendiri atau prinsip ne bis in idem tidak berlaku dalam kasus seperti ini. Narendra sendiri berpandangan seperti pandangan yang kedua, yaitu tuntutan pengurus tidak menghilangkan pertanggungjawaban korporasi.

Kejaksaan, kata Narendra pernah melakukan terobosan menjerat korporasi dengan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan pidana asal penipuan. “Kasus penipuan (jamaah umroh dan haji) Abu Tour, itu perdana di Indonesia kita kenakan TPPU,” imbuhnya.

Yunus Husein, mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengatakan Kejaksaan Agung sebenarnya sudah punya dasar yang bagus untuk menjerat korporasi dengan adanya Peraturan Jaksa Agung (Perja) No. 28/A/JA/10/2014 Tahun 2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi, dan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Menurut Yunus ada sembilan kriteria yang cukup detail untuk menentukan perbuatan korporasi yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana, salah satunya menerima keuntungan. Ada juga empat kriteria untuk menentukan kapan pengurus bisa dimintakan pertanggungjawaban, salah satunya harus ada unsur kesalahan, seperti mengetahui ada risiko tetapi tidak melakukan upaya pencegahan. “Perja ini lebih praktis untuk penyidik dan penuntut umum,” tuturnya.

(Baca juga: Seluk Beluk Penghukuman Korporasi Sebelum dan Sesudah PERMA).

Mengenai Perma sendiri, ada dua pasal penting yaitu Pasal 3 dan Pasal 4. Pasal 3 Perma menentukan apakah suatu perbuatan merupakan perbuatan korporasi atau bukan, ini meniru UU Pemberantasan Tipikor, dengan melihat hubungan antara pelaku dan korporasi. Jika ada hubungannya, maka korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban. Pasal 4 penting karena menentukan kesalahan. Mengenai kapan korporasi bisa dikenakan, Pasal 6 UU TPPU menjelaskan hal tersebut, meski penggunaannya secara alternatif.

Tags:

Berita Terkait