Begini Syarat Jaksa Boleh Ajukan PK
Utama

Begini Syarat Jaksa Boleh Ajukan PK

Sepanjang terdapat putusan pengadilan yang menyatakan perbuatan terdakwa terbukti, namun tidak diikuti dengan pemidanaan atau hukuman. Prinsipnya, pengajuan PK menjadi hak terpidana dan ahli warisnya.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Peneliti Senior Lembaga Kajian dan Advokasi Independen Peradilan (Leip) Arsil menerangkan Pasal 263 ayat (3) KUHAP telah mengatur upaya PK yang logisnya hanya dapat diajukan jaksa. Pasal 263 ayat (3) KUHAP menyebutkan, “Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan”.

Dengan begitu, Penjelasan Pasal 30C huruf h UU Kejaksaan hasil revisi sejatinya sejalan dengan rumusan norma Pasal 263 ayat (3) KUHAP. Memang dalam Pasal 263 ayat (3) tidak disebutkan siapa pihak yang dapat mengajukan PK. “Kalau situasi putusannya begitu, siapa yang ngajuin PK? Kan tidak mungkin terdakwa. Tapi memang ada putusan yang begitu,” kata Arsil. (Baca Juga: MA Diminta Taati Putusan MK Soal Larangan Jaksa Ajukan PK)

Menurutnya, adanya batasan jaksa mengajukan PK tersebut tak menjadi soal. Menjadi problem ketika jaksa berkilah mengajukan PK demi kepentingan korban. Padahal, hak jaksa dalam sistem peradilan pidana begitu besar dibandingkan dengan hak terdakwa atau terpidana. Memang dalam rumusan norma Pasal 263 ayat (3) KUHAP tidak secara tegas jaksa dapat mengajukan PK.

Namun, oleh pembentuk UU ditegaskan dalam Pasal 248 ayat (3) UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang menyebutkan, “Atas dasar alasan yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terhadap suatu putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, Oditur dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan sudah dinyatakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan”.

“Jadi dikoreksi dengan ditambahkan frasa ‘oditur’, sehingga jaksa bisa PK.”

Namun, Arsil menegaskan prinsipnya upaya hukum luar biasa berupa PK menjadi hak terpidana dan ahli warisnya. Sementara jaksa tak diperkenankan mengajukan PK. Sebab, bila jaksa diperbolehkan mengajukan PK menjadi tidak berimbang. Sebab, antara terdakwa/terpidana dan jaksa dalam persidangan harus dalam posisi equality of arms principle. “Secara prinsip jaksa memang tidak boleh mengajukan PK,” tegasnya.

Untuk diketahui, dalam Putusan MK No.33/PUU-XIV/2016, MK memutus konstitusionalitas Pasal 263 ayat (1) KUHAP) yang dimohonkan Anna Boentaran, istri terpidana kasus cessie (hak tagih) Bank Bali Djoko S Tjandra senilai 904 miliar. Intinya, MK menegaskan Jaksa Penuntut Umum tidak bisa mengajukan permohonan PK, kecuali terpidana atau ahli warisnya sesuai bunyi tafsir Pasal 263 ayat (1) KUHAP itu.    

Pasal 263 ayat (1) KUHAP berbunyi “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.”

MK menganggap permohonan PK hanya dapat diajukan terpidana atau ahli warisnya terhadap putusan pemidanaan. “Esensi landasan filosofis lembaga PK ini ditujukan untuk kepentingan terpidana atau ahli warisnya sebagai bentuk perlindungan HAM, bukan kepentingan negara atau korban,” demikian bunyi pertimbangan hukum putusan MK itu.

Apabila Jaksa masih tetap diberikan hak mengajukan PK, padahal sudah diberi hak mengajukan upaya hukum biasa (banding dan kasasi), justru menimbulkan ketidakpastian hukum sekaligus tidak berkeadilan. Karena itu, demi kepastian hukum yang adil dipandang penting menegaskan kembali Pasal 263 ayat (1) KUHAP konstitusional sepanjang tidak dimaknai lain selain dimaknai PK hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya dan tidak boleh diajukan terhadap putusan bebas atau lepas.

Soalnya, dalam praktik MA masih menerima permohonan PK yang diajukan Jaksa terlepas dikabulkan atau ditolak. Kondisi ini telah menimbulkan silang pendapat di kalangan akademisi dan praktisi hukum apakah Jaksa berhak mengajukan PK atas putusan bebas atau lepas yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 

Tags:

Berita Terkait