Belajar dari Kasus Reynhard Sinaga, Saatnya Reformulasi Pengaturan Perkosaan
Kolom

Belajar dari Kasus Reynhard Sinaga, Saatnya Reformulasi Pengaturan Perkosaan

​​​​​​​Jangan sampai pelaku menjadi tidak dapat dijerat karena aturan hukum yang memang tidak memadai.

Bacaan 2 Menit

 

Kedua, apabila membaca ketentuan pasal 285 KUHP, perkosaan tidak mungkin dilakukan terhadap seorang laki-laki karena pasal 285 KUHP sendiri secara tegas menyatakan yang dapat menjadi korban perkosaan hanyalah wanita. Mengacu pada KUHP, dalam hal terjadi kasus di mana korbannya adalah laki-laki, pelaku tidak dapat dijerat ketentuan pasal 285 KUHP tentang perkosaan namun bisa dijerat dengan ketentuan pasal 289 tentang perbuatan cabul yang sanksi pidanya lebih ringan.

 

Pasal 289 KUHP menyatakan: “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”

 

Dengan mengacu pada berbagai doktrin, perbuatan cabul diartikan sebagai segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya ciuman, meraba-raba kemaluan dan sebagainya.

 

Ketentuan pasal ini tidak membatasi siapa saja yang dapat menjadi pelaku maupun korban, sehingga perbuatan cabul yang dimaksud dapat dilakukan baik oleh laki-laki terhadap perempuan, perempuan terhadap laki-laki, laki-laki terhadap laki-laki, maupun perempuan terhadap perempuan.

 

Ketiga, perkosaan dalam ketentuan pasal 285 KUHP diartikan secara sempit sebagai persetubuhan. Sebagai konsekuensi dari pemikiran bahwa perkosaan hanya dapat dilakukan oleh seorang pria (pelaku) terhadap seorang wanita (korban), persetubuhan yang dimaksud kemudian diartikan secara sempit sebagai penetrasi penis terhadap vagina.

 

Pemahaman ini tentu mengesampingkan fakta bahwa sesungguhnya perkosaan dapat juga dilakukan dalam bentuk-bentuk lain seperti oral atau anal sex, atau bahkan menggunakan alat-alat lain yang bukan anggota tubuh. Seandainya kasus-kasus di luar persetubuhan itu terjadi, kita menghadapi persoalan baru karena perbuatan-perbuatan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai perkosaan.

 

Keempat, logika berpikir yang dibangun dalam ketentuan pasal 285 KUHP ini adalah perkosaan hanya dapat terjadi apabila wanita korban perkosaan tidak terikat perkawinan dengan pria pelaku perkosaan. Apabila mengikuti cara berpikir ini,seorang wanita yang terikat dalam suatu perkawinan seolah-olah dianggap telah memberikan persetujuan kepada suaminya untuk melakukan hubungan seksual dalam kondisi apapun.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait