Belajar dari Kasus Reynhard Sinaga, Saatnya Reformulasi Pengaturan Perkosaan
Kolom

Belajar dari Kasus Reynhard Sinaga, Saatnya Reformulasi Pengaturan Perkosaan

​​​​​​​Jangan sampai pelaku menjadi tidak dapat dijerat karena aturan hukum yang memang tidak memadai.

Bacaan 2 Menit

 

Dalam perspektif yang lebih progresif, makna perkosaan seharusnya diperluas hingga mencakup perkosaan dalam perkawinan (marital rape) karena sesungguhnya dalam perkosaan korban berada di bawah tekanan atau paksaan untuk melakukan persetubuhan dan korban dalam hal ini dapat juga mencakup wanita (istri) yang terikat dalam suatu perkawinan.

 

Apabila kita berandai-andai menggunakan kacamata pasal 285 KUHP, kasus Reynhard praktis tidak dapat dikategorikan sebagai perkosaan. Dalam kasus ini memang terdapat kekerasan yang dilakukan pelaku terhadap korban. Tindakan pelaku memberikan korban minuman keras yang telah terlebih dahulu dicampur dengan obat bius sehingga korban tak sadarkan diri merupakan bukti bahwa para korban berada dalam paksaan dan tidak mampu menolak perbuatan pelaku.

 

Persoalan kemudian muncul karena seluruh korban dalam kasus ini adalah pria sehingga secara otomatis unsur “persetubuhan” yang dimaksud dalam ketentuan pasal 285 KUHP juga tidak terpenuhi. Dengan demikian, apabila kasus ini terjadi dan diproses di Indonesia, Reynhard tidak dapat dianggap telah melakukan perkosaan. Reynhard hanya dapat didakwa dengan pasal perbuatan cabul dengan sanksi pidana yang lebih ringan.  

 

Pengaturan Perkosaan dalam Hukum Pidana Indonesia Harus Direformulasi

Belajar dari Kasus Reynhard dan menyikapi modus operandi perkosaan yang terus berkembang, pengaturan perkosaan dalam hukum pidana Indonesia harus direformulasi agar jangan sampai pelaku menjadi tidak dapat dijerat karena aturan hukum yang memang tidak memadai.

 

Rancangan KUHP dan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang pembahasannya masih terus bergulir harus disinkronisasi agar pengaturan perkosaan dalam kedua undang-undang ini tidak menjadi tumpang tindih dan diharapkan mampu menjawab berbagai kritik terhadap pengaturan perkosaan dalam KUHP saat ini yang masih jauh dari memadai.  

 

Kritik kaum feminis pada akhirnya mendorong reformasi hukum pengaturan perkosaan di beberapa negara. Pendekatan paling progresif yang saat ini muncul adalah mulai dilihatnya perkosaan sebagai tindak pidana yang menyerang integritas tubuh sehingga konsep “persetujuan korban” dalam tindak pidana perkosaan perlahan-lahan ditinggalkan dan beralih pada penekanan keadaan-keadaan dimana korban mengalami paksaan, kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, bujuk rayu, intimidasi dan lain sebagainya sebagai elemen utama perkosaan di samping unsur penetrasi seksual yang juga diartikan secara lebih luas.

 

Pendekatan ini pada akhirnya menghasilkan sebuah perubahan paradigma berpikir yang menyimpulkan bahwa tindak pidana perkosaan tidak tepat lagi diletakkan dalam bab kejahatan terhadap kesusilaan dan lebih tepat dikelompokkan sebagai bagian dari kejahatan terhadap nyawa dan tubuh.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait