Berperilaku Sebagai Operator, BP Migas Dituding Melanggar UU
Berita

Berperilaku Sebagai Operator, BP Migas Dituding Melanggar UU

Beberapa anggota Komisi VIII DPR mengusulkan agar keberadaan UU Migas sebaiknya ditinjau lagi. Peran BP Migas sudah bertindak tidak lagi sebagai pengawas, melainkan operator kegiataan pengelolaan sumber daya minyak dan gas.

Tri
Bacaan 2 Menit
Berperilaku Sebagai Operator, BP Migas Dituding Melanggar UU
Hukumonline
Usulan tersebut dilontarkan karena berdasarkan pengamatan beberapa anggota dewan, peran Badan Pelaksana Migas (BP Migas) dalam menjalankan tugasnya sebagai pengawas kegiatan hulu pengelolaan sumber minyak dan gas, sudah tumpang tindih dengan operator di lapangan.
 
"Saya kira kita bisa tinjau ulang itu soal kewenangan BP Migas dalam UU Migas," papar Harry Sohar, politisi dari Fraksi Partai Golongan Karya ini dalam rapat kerja Komisi VIII DPR dengan jajaran BP Migas di Gedung MPR/DPR (27/05). 

Harry memamaparkan adanya peran dari BP Migas melakukan penetapan harga penjualan migas kepada negara eksportir. "Kenapa BP Migas harus ikut-ikutan menetapkan harga? Apa tidak cukup mempercayakan kepada Pertamina atau kepada Kontraktor Production Sharing (KPS)," tanyanya. 

Berdasarkan Pasal 44 UU No.22/2001 tentang Migas,secara tegas dikatakan bahwa tugas penting yang diemban BP MIgas adalah melakukan pengawasan terhadap kegiatan usaha hulu agar pengambilan sumber daya alam minyak dan gas bumi milik negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara.  

Senada dengan Harry, Didik Supriyanto, dari Fraksi PDI-P juga mempertanyakan kebijakan yang diambil BP MIgas yang tidak memberikan marketing fee kepada Pertamina. Padahal menurut Didik, selama ini Pertamina lah yang melakukan penawaran terhadap penjualan minyak dan gas kepada negara-negara pengekspor migas, seperti Jepang, Korea dan China. "Apa iya sekarang BP Migas sudah menjadi pelaku sektor Migas," ujarnya. 

Kondisi tersebut tentu menjadi masalah bagi Pertamina, karena akhirnya membuat cash flow Pertamina menjadi masalah. Paling tidak, lanjut Didik, dari Januari sampai Desember 2003 anggaran niaga dan pemasaran yang dikeluarkan Pertamina  sudah mencapai Rp2,7 triliun untuk melakukan penawaran terhadap minyak dan gas. "Jadi saya kira ke depan mesti ada kebijakan yang jelas, kalau memang Pertamina  yang memasarkan, mengapa Pertamina tidak mendapat marketing fee," papar Didik.  

Membantah

Menanggapi pertanyaan anggota Komisi VIII, terhadap dugaannya penyimpangan fungsi dan tugas BP Migas sebagaimana diatur dalam undang-undang, Ketua BP Migas Rahmat Sudibyo membantahnya. Menurut dia, BP Migas sudah melakukan tugas sudah sesuai dengan diamanatkan dalam UU. 

Namun begitu, Rahmat menjelaskan, kalau memang ada persoalan terhadap mekanisme penunjukan atau penawaran penjualan migas Rahmat kepada Pertamina atau kepada KPS, itu akan dikoordinasikan nanti kepada pemerintah. " Apabila DPR memandang mekanisme sekarang kurang tepat maka kami akan menyesuaikan dan tentu mencoba untuk meninjau kembali persoalan ini. Tetapi terhadap hal ini kami akan dikoordinasikan dahulu dengan pemerintah," jelasnya.   

Soal nasib Pertamina yang semakin tertekan, Rahmat mengungkapkan sebenarnya sejak lahirnya BP Migas,  Pertamina selalu ditunjuk untuk melakukan penjualan langsung terhadap hasil migas. "Di dalam UU, BP MIgas tidak sebagai penjual, tetapi sebagai pihak yang menunjuk penjual bagi kontrak-kontrak jual beli gas dan minyak bumi. Dan sampai saat ini Pertamina memang masih kita tunjuk untuk sebagian besar penjualan migas," papar Rahmat.  

Rahmat mengemukakan, paling tidak ada empat masalah yang beelum terseblesaikan yang sering menjadi kendala bagi BP Migas. Keempat masalah itu adalah, masalah perpajakan dan kepabeanan dalam kegiatan KPS, perizinan fasilitas ekspor, tumpang tindih lahan dan banyaknya peraturan daerah yang tidak selara dengan ketentuan pemerintah pusat. 

Tags: