Besarnya Kewenangan Kejaksaan Mesti Dimanfaatkan Secara Benar
Terbaru

Besarnya Kewenangan Kejaksaan Mesti Dimanfaatkan Secara Benar

Jangan ada lagi aparat kejaksaan yang mempermainkan hukum, menitip rekanan proyek, barang impor, dan berbagai tindakan lainnya.

Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit

Kemudian tidak mau menghadirkan ahli pidana yang diajukan oleh pelapor. Padahal telah diperiksa saat penyidikan, melarang pendamping kelompok rentan masuk ke ruang sidang saat pemeriksaan saksi, tidak disiplin hadir sidang, tidak menjawab permohonan penangguhan/pengalihan penahanan, dan lainnya.

Kelima, menghalangi akses bantuan hukum dan kerja-kerja advokat. Bagi Isnur jaksa mengintervensi dan menjanjikan akan di tuntut dan divonis ringan jika tidak didampingi LBH (Advokat). Sehingga meminta terdakwa memutuskan kuasa dengan LBH/pengacara. Termasuk menunda-nunda dan/atau tidak segera memberikan salinan berkas perkara meskipun telah diminta, berkas baru diberikan setelah kuasa hukum meminta melalui hakim.

Keenam, lemahnya perspektif perlindungan terhadap hak kelompok rentan. Isnur menyebut LBH-YLBHI menemukan praktik jaksa yang tidak melakukan pemeriksaan kesehatan, khususnya kondisi kejiwaan tersangka/terdakwa yang memiliki riwayat disabilitas mental. Termasuk praktik pelanggaran terhadap hak anak berhadapan dengan hukum.

Ketujuh, kejaksaan menjalankan fungsi yang diskriminatif, membahayakan demokrasi, dan melanggar HAM dan UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI dimana pasal 30 ayat (3) huruf d tentang pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara (terwujud melalui Bakor Pakem) menjadi sumber diskriminasi bagi kelompok minoritas keagamaan. Kewenangan ini menurut Isnur juga diperluas dengan melibatkan aktor non-negara seperti lembaga keagamaan sehingga semakin tidak akuntabel.

Kedelapan, jaksa menjadi bagian dari korupsi dan berpotensi menghalangi pengungkapan korupsi. Isnur menjelaskan, YLBHI-LBH mencatat jaksa terlibat menjadi pelaku mafia peradilan dengan melakukan pemerasan dan pengancaman kepada tersangka/terdakwa. Praktiknya, jaksa menawarkan transaksi nominal uang dengan pengurangan tuntutan. Selain itu, sejak 2016 Kejaksaan Agung membentuk Tim Pengawal dan Pengamanan Pemerintahan dan Pembangunan (TP4) yang diperkuat dengan Peraturan Jaksa Agung No. Per-014/A/JA/11/2016. Praktiknya, tim ini berpotensi menghalangi pengungkapan korupsi yang terjadi pada proyek yang dikawal dan bahkan peluang korupsi itu sendiri.

Kesembilan, diskriminasi penegakan hukum. Isnur menyebut YLBHI-LBH lagi-lagi menemukan praktik disparitas tuntutan antar tersangka/terdakwa yang memiliki kemampuan ekonomi tertentu pada kasus/pasal yang sama. Kemudian di Papua jaksa sering memindahkan pemeriksaan perkara dari Papua ke luar Papua tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Kesepuluh, lemahnya transparansi dan akuntabilitas pengawasan jaksa. Menurutnya, YLBHI-LBH menemukan situasi ketika jaksa dilaporkan karena melakukan pelanggaran etik/pidana proses dan tindaklanjutnya tidak transparan dan akuntabel. Kesebelas, independensi jaksa. Isnur mencatat jaksa sering menunjukkan posisi yang tidak independen dan tidak berdasarkan fakta persidangan ketika menuntut terdakwa yang dikriminalkan.

Sistem rencana penuntutan berjenjang, di mana yang berwenang menentukan tuntutan bukanlah penuntut umum yang bersidang dan lebih mengetahui fakta persidangan, tapi pimpinan Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi maupun Kejaksaan Agung. Hal itu berpotensi memunculkan tekanan pimpinan terhadap penuntut umum dan membuka ruang korupsi baik gratifikasi, perdagangan pengaruh (trading influence) maupun penyuapan dan pemerasan.

“Selain itu, yang mencolok sosok Jaksa Agung yang dipilih Presiden berpengaruh pada independesi Institusi,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait