BI Tawarkan Amandemen UU Mata Uang
Utama

BI Tawarkan Amandemen UU Mata Uang

Guna meniadakan ketidakjelasan akan penafsiran aturan di undang-undang ini.

CR-11
Bacaan 2 Menit
Sekretaris Dirjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan Tata Suntara (kiri). Foto: SGP
Sekretaris Dirjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan Tata Suntara (kiri). Foto: SGP

Undang-Undang No.7 Tahun 2011 tentang Mata Uang yang disahkan pada 31 Mei 2011 lalu, terus mengundang ketidakpastian bagi pelbagai pihak. Termasuk Bank Indonesia (BI). Bank sentral menilai UU ini memuat ketidakjelasan dan kerancuan makna, Pasal 21 dan Pasal 23.

 

BI menilai kedua pasal tersebut tidak memuat penegasan mengenai jenis transaksi yang dijelaskan dalam pasal tersebut. Hal ini diungkapkan oleh Investigator Senior BI Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan Rosalia Suci saat sosialisasi UU ini yang diselenggarakan Kementerian Keuangan di Jakarta, Selasa (6/12).

 

“Tidak ada ketegasan soal transaksi yang dimaksud, apakah berbentuk tunai atau non tunai,” ungkap Rosalia. Dia tambahkan, kedua pasal tidak menjelaskan secara tegas transaksi yang dimaksud apakah tunai atau non tunai. Begitu pula mengenai ‘yang telah diperjanjikan secara tertulis’ dalam pasal 23 ayat (2), juga mengandung ketidakjelasan makna.

 

Pasal 21

(1)  Rupiah wajib digunakan dalam:

a.    Setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran;

b.    Penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang;dan/atau

c.    Transasksi keuangan lainnya.

(2)  Kewajiban pada ayat (1) tidak berlak bagi:

a.    Transaksi tertentu dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara;

b.    Penerimaan atau pemberian hibah dari atau keluar negeri;

c.    Transaksi perdagangan internasional;

d.    Simpanan di bank dalam bentuk valuta asing;

e.    Transaksi pembiayaan internasional.

 

Pasal 23

(1)  Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di wilayah  NKRI, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah.

(2)  Ketentuan sebagaimana di maksud pada ayat (1) dikecualikan untuk pembeyaran atau untuk penyelesaian kewajiban dalam valuta asing yang telah diperjanjikan secara tertulis.

 

Menurut Rosalia, dilihat dari isi pasal 21 dan pasal 23 ini, permasalahan yang adalah ketidakjelasan cakupan pasal 21 dan pasal 23 dengan ancaman pidana atas pelanggarannya terhadap risiko hukum bagi pelaku usaha dan masyarakat.

 

BI menafsirkan, bahwa yang diwajibkan menurut Pasal 21 dan Pasal 23 hanya berlaku untuk pembayaran secara tunai. Sementara secara a contrario diartikan bahwa pembayaran secara non tunai  (dengan alat pembayaran selain uang kertas dan uang logam) bebas menggunakan mata uang selain rupiah. Apabila demikian, tutur Rosalia, tidak sejalan dengan visi penegakkan kedaulatan rupiah di Indonesia.

 

Berangkat dari permasalahan tersebut, BI menawarkan solusi alternatif guna pemecahan permasalahan ini baik bentuk yang ideal menurut hukum maupun pragmatis. BI menawarkan agar adanya amandemen UU Mata Uang dengan UU atau PERPU atau, penafsiran pemerintah dituangkan dalam Peraturan Pemerintah sebagai pedoman semua pihak dalam implementasi serta pengaturan kewajiban penggunaan Ruiah secara non tunai dalam UU lain, seperti U BI atau UU sistem pembayaran.

 

Namun kebingungan BI, ditangkis Sekretaris Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Kementerian Keuangan Tata Suntara. UU  Mata Uang dia nyatakan sudah cukup jelas. Ia mengatakan bahwa transasksi yang dimaksud dalam UU tentang Mata Uang tersebut adalah transaksi yang bersifat tunai dengan menggunaan uang kartal (uang kertas dan logam).

 

“Saya rasa UU tentang Mata Uang ini sudah jelas dan tidak ada kerancuan lagi. Transaksi yang dimaksud dalam UU, ya, transaksi yang bersifat tunai. Kalau misalnya ada tabungan valuta asing, boleh memakai dolar AS, kan dalam Pasal 21 ayat (2) sudah dijelaskan pengecualiannya,” ungkap Tata.

 

Sedangkan mengenai penggunaan uang giral, Tata menguraikan tidak diatur dalam UU Mata Uang. Jadi sudah jelas, paparnya, transaksi yang dimaksud dalam UU Mata Uang ini adalah transaksi tunai.

 

Berdasarkan pengkajian dalam Naskah Aademik maupun kesepakatan antara Pemerintah dengan DPR RI, pengaturan  mengenai uang giral lebih tepat diatur dalam undang-undang tersendiri yaitu undang-undang tentang lalu lintas sistem pembayaran. “Soal uang giral, sesuai kesepakatan lebih tepat diatur dalam undang-undang tersendiri. Ya saya kurang paham juga soal aturan uang giral ini,” jelas Tata.

 

Sedangkan mengenai pasal 23 UU Mata Uang ini, “diperjanjikan secara tertulis” menafikan aturan pidana yang ada menjadi ketentuan perdata. Artinya, dalam pelaksanaanya diserahkan kepada personal masing-masing, yang di dalam perjanjian dikenal adanya asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang menyebutkan bahwa “setiap persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya”.

 

Namun, asas kebebasan berkontrak dalam membuat perjanjian tidak untuk melegalkan penggunaan uang asing di Indonesia tanpa batasan yang dapat menyebabkan nilai rupiah semakin merosot.

 

Dalam frasa “yang telah diperjanjikan secara tertulis,” perjanjian tertulis berlaku sebelum maupun setelah adanya UU Tentang Mata Uang ini, mengingat pencatumannya berada d dalam batang tubuh dan bukan di dalam Ketentuan Peralihan. Sehingga menurut Kementerian Keuangan, UU Mata Uang ini sudah jelas dan tidak ada kerancuan.

 

Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Jakarta, Soeprayitno menyambut positif pembentukan UU Mata Uang ini. Menurutnya, ini adalah salah satu cara pemerintah untuk mengatur rupiah agar menjadi salah saru alat transaksi tunai di Indonesia. Namun hal yang perlu diperhatikan adalah sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang transaksi lebih sering menggunakan transaksi tunai. Menurutnya, hal ini perlu sosialisasi yang dalam guna menghindari kegaduhan.

 

“Ini merupakan hal positif yang dilakukan Pemerintah. Namun, pemerintah harus memperhatikan UMKM karena mereka sering melakukan transaksi tunai. Dan ini dibutuhkan sosialisasi yang dalam agar  nantinya tidak timbul kegaduhan dalam pelaksanaanya,” ungkapnya.

 

Jika dilihat dari sisi pengusaha, Soeprayitno mengaku tdak begitu berpengaruh terhadap dunia bisnis, terutama bisnis besar. Pasalnya, bisnis besar lebih menggunakan transaksi non tunai.

 

Terkait soal risiko hukum yang tercantum dalam UU Mata Uang ini, Soeprayitno enggan berkomentar. “Saya belum baca secara utuh UU Mata Uang ini, jadi saya ga bisa komentar perihal risiko hukumnya terhadap pelaku usaha,” jawab Soeprayitno melalui telepon selularnya.

Tags: