BKS Dekan FH PTN Belum Sepakati Konsep Pembentukan LAM Hukum
Utama

BKS Dekan FH PTN Belum Sepakati Konsep Pembentukan LAM Hukum

Mempertanyakan urgensi pembentukan LAM hingga pembiayaan.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 3 Menit
Dekan FH Universitas Hasanuddin Prof Hamzah Halim saat sesi diskusi dalam Pertemuan BKS Dekan FH PTN Wilayah Timur di Prama Sanur Beach, Bali, Sabtu (2/3/2024). Foto: ASH
Dekan FH Universitas Hasanuddin Prof Hamzah Halim saat sesi diskusi dalam Pertemuan BKS Dekan FH PTN Wilayah Timur di Prama Sanur Beach, Bali, Sabtu (2/3/2024). Foto: ASH

Dalam beberapa tahun terakhir, rencana pembentukan Lembaga Akreditasi Mandiri untuk Program Studi Ilmu Hukum (LAM Hukum) oleh Badan Kerja Sama Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Negeri (BKS FH PTN) masih belum ada kata sepakat. Hingga pertemuan BKS Dekan FH PTN Wilayah Timur yang digelar pada Sabtu (2/3/2024), rencana pembentukan LAM Hukum masih terus dibahas terutama mengenai konsep kelembagaan berikut pembiayaannya.  

Padahal, disiplin ilmu lain telah memiliki LAM, seperti LAM Pendidikan Tinggi Kesehatan (LAM-PTKes), LAM Teknik, LAM Ekonomi Manajemen Bisnis dan Akuntansi, dan lain-lain. Pembentukan LAM ini memang amanat Pasal 55 ayat (4-6) UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi jo Pasal 4 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.5 Tahun 2020 tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi. LAM ini bisa dibentuk pemerintah atau masyarakat. Sedangkan, akreditasi perguruan tinggi tetap dilakukan oleh BAN-PT. Tapi, selama LAM belum terbentuk, akreditasi untuk program studi (prodi) diberikan oleh BAN-PT.

Lalu, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi ini juga mengamanatkan dibentuknya LAM yang bersifat pilihan dan diberi batas waktu hingga Agustus 2025. Bila sampai Agustus 2025 LAM masyarakat belum terbentuk, akreditasi prodi akan dilaksanakan oleh BAN-PT dengan status terakreditasi dan/atau tidak terakreditasi.        

Baca Juga:

Bila LAM masyarakat telah terbentuk pembiayaan ditanggung pemerintah, tapi dengan memberi status terakreditasi dan/atau tidak terakreditasi. Namun, bila prodi bermaksud ingin mendapatkan status akreditasi unggul, akreditasi dilakukan LAM dan biaya ditanggung prodi masing-masing. “Apa yang kurang dari BAN-PT ketimbang LAM yang mau kita coba-coba? Apa yang salah dengan BAN-PT?” ujar Dekan FH Unhas Prof Hamzah Halim saat sesi diskusi dalam Pertemuan BKS Dekan FH PTN Wilayah Timur di Prama Sanur Beach, Bali, Sabtu (2/3/2024).

Menurutnya, banyak hal yang lebih penting ketimbang membentuk LAM Hukum, seperti bagaimana menciptakan program dalam upaya pencapaian/peningkatan Indikator Kinerja Utama (IKU). Misalnya, pertukaran mahasiswa asing termasuk mahasiswa program doktor, peningkatan sitasi dalam penulisan jurnal ilmiah. “Ini yang dilakukan di Malaysia,” ujarnya membandingkan.           

Senada, Dekan FH Universitas Brawijaya Dr. Aan Eko Widiarto melihat pembentukan LAM ini mengandung persoalan biaya, bersifat coba-coba, termasuk mempertanyakan posisi LAM. “LAM ini memang perintah UU Pendidikan Tinggi yang diatur lebih lanjut dalam Permen,” ujar Dr Aan Eko Widiarto dalam kesempatan yang sama.

Tags:

Berita Terkait