Boy Mardjono, Soe Hok-Gie, dan Keadilan Bagi Orang Miskin
Profil

Boy Mardjono, Soe Hok-Gie, dan Keadilan Bagi Orang Miskin

Semasa hidupnya, Soe Hok-Gie pernah mengungkapkan keprihatinannya atas hukum dan keadilan, lalu bercerita tentang Boy Mardjono dan Yap Thiam Hien.

Mys/Amr-Klinik
Bacaan 2 Menit

 

Untuk menutupi kelemahan itu, Konsorsium memperkenalkan apa yang dikenal sebagai Laboratorium Hukum. Pendekatan ini menghasilkan dua hal: mahasiswa menjalankan praktik di kelas, dan pendirian lembaga-lembaga bantuan hukum kampus. Namanya Biro Bantuan Hukum. Di tempat pertama, mahasiswa dididik untuk menjadi jaksa atau advokat. Tempat kedua sebenarnya lebih diperuntukkan bagi mahasiswa yang mempunyai dedikasi tinggi.

 

Toh, dalam praktik masih saja kurikulum pendidikan hukum dipertanyakan. Soal penulisan skripsi, misalnya. Dari dulu sudah ada skripsi. Bedanya, dulu ada yang 30 halaman. Sekarang minimal seratus halaman. Dulu, pernah ada usulan agar mahasiswa disuruh membuat legal memorandum, bukan skripsi. Intinya, mahasiswa membahas suatu masalah hukum langsung to the point. Konsorsium sudah setuju kala itu. Namun, hingga kini skripsi tetap berjalan.

 

Keinginan mendekatkan mahasiswa hukum dengan realitas sehari-hari melahirkan pula mata kuliah sosiologi, antropologi dan ekonomi di tingkat dasar Fakultas Hukum. Tujuannya agar mahasiswa tidak terlalu legal positivistik.

 

Mardjono menceritakan perkembangan terakhir agar pendidikan hukum diarahkan pada pendidikan hukum profesional seperti yang berlaku di Amerika Serikat. Lulusan fakultas hukum siap kerja. Tapi, gagasan ini pun bukan tanpa celah. Belanda tak menerapkan professional school, lulusan fakultas hukumnya banyak yang berhasil menjadi advokat. Meniru model pendidikan Amerika ada bagusnya. Mahasiswa disuruh memecahkan kasus, legal case. Putusan atas kasus adalah cermin pemikiran hakim yang berkembang.

 

Pertemuan dan diskusi Mardjono dengan Hok-Gie seolah hidup lagi ketika ketidakadilan terpampang di depan mata. Ironisnya, ketidakadilan itu terpajang di depan ribuan sarjana hukum. Padahal sejak reformasi digulirkan, ada asa agar para sarjana hukum menjadi pelopor keadilan dan pembentukan tata pemerintahan yang baik. Sarjana hukum seharusnya menjadi garda terdepan mengawasi penyimpangan dan penyelewengan.

 

Reformasi sejatinya melahirkan perbaikan. Tetapi, kata Mardjono, kita terlalu menggampangkan segala persoalan. Seolah-olah mengubah perilaku buruk pemimpin dan penyelenggara negara cukup dengan goresan tanda tangan Undang-Undang. Seolah-olah dengan peraturan, semua urusan menjadi selesai. Reformasi hukum telah diartikan sempit sebagai memperbanyak produk perundang-undangan. Dan, itulah yang membuat Mardjono kecewa.

 

Meskipun kecewa pada reformasi hukum, Mardjono masih menaruh harapan besar pada pendidikan di Indonesia. Tak hanya ilmu hukum, tetapi juga kriminologi dan ilmu-ilmu lain. Pendidikan harus berlanjut. Kesinambungan itulah yang terbaca dari pajangan dua foto Mardjono di ruang tamu lantai satu sebuah gedung di Salemba, yang kini dijuluki Gedung Mardjono Reksodiputro. Gedung itu terletak hanya beberapa meter dari tempat pertemuan Mardjono dan Hok-Gie tempo hari.

 

Tags: