BPJS Kesehatan Tak Menjamin Pelayanan Kesehatan Akibat Perbuatan Melawan Hukum
Berita

BPJS Kesehatan Tak Menjamin Pelayanan Kesehatan Akibat Perbuatan Melawan Hukum

​​​​​​​Antara lain akibat tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual, korban terorisme, dan tindak pidana perdagangan orang.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Baca:

 

Ketentuan lain dalam Perpres No.82 Tahun 2018 yang patut dicermati mengenai penjaminan bagi peserta pekerja penerima upah (PPU) yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Bona menyebut regulasi ini mengamanatkan peserta PPU yang mengalami PHK tetap memperoleh hak berupa manfaat jaminan kesehatan paling lama 6 bulan sejak PHK tanpa membayar iuran.

 

Bona menjelaskan ada 4 kriteria PHK yang harus dipenuhi agar BPJS Kesehatan bisa menjamin pelayanan kesehatan bagi peserta PPU yang terkena PHK. Pertama, PHK yang sudah ada putusan pengadilan hubungan industrial (PHI), dibuktikan dengan putusan/akta PHI. Kedua, PHK karena penggabungan perusahaan, dibuktikan dengan akta notaris. Ketiga, PHK karena perusahaan pailit atau mengalami kerugian, dibuktikan dengan putusan kepailitan dari pengadilan. Keempat, PHK karena pekerja mengalami sakit berkepanjangan dan tidak mampu bekerja, dibuktikan dengan surat dokter.

 

Bona mengingatkan ketentuan ini tidak berlaku bagi peserta PPU yang statusnya perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang habis kontrak kerjanya. Untuk peserta PPU yang habis kontrak kerjanya, Bona mengimbau agar peserta yang bersangkutan melakukan mutasi atau pindah kepesertaan dari PPU menjadi pekerja bukan penerima upah (PBPU) atau bukan pekerja (BP) dengan membayar iuran sesuai nominal yang dipilih untuk ruang perawatan kelas 1, 2 atau 3. Jika merasa tidak mampu, peserta bisa mengajukan diri untuk didaftarkan menjadi peserta PBI.

 

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mengatakan ketentuan pasal 52 ayat (1) huruf r Perpres No.82 Tahun 2018 berdampak negatif bagi peserta JKN. Menurutnya ketentuan ini mencatut pasal 6 UU No.31 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. UU LPSK ini pada intinya mengatur korban pelanggaran HAM berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual dan penganiayaan berat berhak mendapat pelayanan antara lain bantuan medis. Bantuan ini dapat diberikan berdasarkan keputusan LPSK.

 

“Pasal 52 ayat 1 huruf r ini merupakan respon atas defisitnya JKN dan berdampak pada penurunan manfaat bagi peserta JKN,” kata Timboel di Jakarta, Kamis (20/12).

 

Timboel mengusulkan agar BPJS Kesehatan memberikan edukasi dan membantu peserta yang mengalami penganiayaan, kekerasan seksual, korban terorisme dan perdagangan orang agar mendapat pelayanan medis dari LPSK. Menurutnya bantuan medis itu hanya untuk korban tindak pidana, padahal tidak semua penganiayaan harus dibawa ke ranah pidana. Misalnya, pertengkaran dalam rumah tangga, peserta yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga berarti harus melaporkan masalah ini kepada aparat jika ingin mendapat bantuan medis LPSK.

 

Menurut Timboel peserta JKN yang mengalami penganiayaan kebanyakan menjadi pasien umum untuk mendapat pelayanan kesehatan karena mereka tidak mau membawa kasus yang menimpanya ke ranah pidana. “Layaknya pasal 52 ayat (1) huruf r ini ditinjau ulang,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait