BPK Klaim Tak Ada Pejabat Aktif Rangkap Jabatan di BUMN/BUMD
Berita

BPK Klaim Tak Ada Pejabat Aktif Rangkap Jabatan di BUMN/BUMD

BPK memiliki kode etik terkait larangan rangkap jabatan di yayasan-yayasan atau badan usaha yang dibiayai oleh negara. Bila masyarakat mengetahui terdapat pejabat atau pegawai BPK melanggar kode etik, bisa mengadukan ke Majelis Kehormatan dan Kode Etik (MKKE).

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Muhammad Faiz Aziz berpendapat bahwa rangkap jabatan di BUMN memang tidak diizinkan. Hal itu jelas diatur dalam Pasal 17 huruf A UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang menyatakan, “Pelaksana dilarang: merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah.”

“Pasal 17 huruf a itu jelas pelaksana pelayanan publik dilarang merangkap jabatan. Larangannya sukup streak, dan ini absolut,” katanya kepada Hukumonline.

Namun, Aziz menjelaskan jika rangkap jabatan memang tidak diatur dalam UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) karena mengatur PT secara umum. Hanya saja hal itu berlaku selama tidak ada larangan pembatasan di UU lain. “Kalau ada yang melanggar, ya sanksinya pembebasan dari salah satu jabatan,” ujarnya.

Berbeda, Staf Khusus Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Arya Sinulingga berpandangan bahwa posisi komisaris perusahaan negara yang diisi oleh sosok dari kementerian atau lembaga merupakan hal wajar.

"Kita kan tahu BUMN dimiliki pemerintah. Pemerintah sebagai pemegang saham pasti menempatkan perwakilannya untuk menempati posisi komisaris di BUMN, maka wajar diambilnya dari kementerian-kementerian teknis yang memang paham masalah teknis di perusahaan itu," ujar Arya, seperti dilansir Antara, Minggu (28/6).

Menurut Arya, pemerintah sebagai pemegang saham BUMN berhak menempatkan orangnya dalam rangka mengawasi kinerja perusahaan. "Jadi sangat wajar kalau dari kementerian atau lembaga juga yang menempati posisi komisaris, yang mewakili kepentingan pemegang saham ya dari pemerintah. Itu logika umum, dimana-mana juga pastinya harus ada mewakili, kalau nggak siapa yang mewakili pemerintah dalam perusahaan yang dimiliki oleh pemerintah itu kalau bukan dari unsur pemerintah," katanya.

Ia menyampaikan, larangan rangkap jabatan bagi PNS adalah larangan untuk menjabat satu jabatan strukrural dengan jabatan struktural lainnya dan/atau dengan jabatan fungsional dan pada Kementerian/Lembaga bukan jabatan di BUMN serta larangan menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.

"Sesuai regulasi maka Dewan Komisaris atau Dewan Pengawas dan Direksi bukan termasuk jabatan yang masuk dalam kriteria jabatan struktural dan/atau jabatan fungsional dari Pegawai Negeri Sipil," paparnya.

Ia menambahkan terkait aspek benturan kepentingan dewan komisaris adalah yang dapat merugikan BUMN. Apabila perbedaan itu tidak menimbulkan kerugian pada BUMN maka bukan benturan kepentingan. Arya juga menjawab soal adanya rangkap penghasilan. Menurutnya, penghasilan yang diterima komisaris berbentuk honorarium dan bukan gaji.

"Kalau ada ASN yang ditugaskan untuk tugas-tugas tertentu maka ada tambahan honorarium bagi pejabat tersebut," katanya. 

Tags:

Berita Terkait