Buka Kran Ekspor Masker dan APD Dinilai Keputusan Gegabah
Berita

Buka Kran Ekspor Masker dan APD Dinilai Keputusan Gegabah

Karena dalam sepekan terakhir jumlah kasus positif Covid-19 meningkat berkisar antara 900 sampai 1.200 kasus per hari yang diperkirakan kebutuhan masker dan APD bakal kembali meningkat. Pemerintah diingatkan berlakunya Pasal 50 UU No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan yang tak boleh dilanggar.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

Pasal 25 intinya mengamahkan pemerintah mengendalikan barang penting bagi rakyat dari tiga hal. Yakni pasokan, mutu, dan harga. Bila mutu APD dalam negeri menjadi berkurang, harganya bisa melonjak akibat berlakunya Permendag 57/2020 dan pemerintah harus bertanggung jawab penuh.

Sementara Pasal 26 mewajibkan pemerintah menjaga ketersediaan dan stabilitas harga barang pokok/barang penting bagi kebutuhan dalam negeri, pada situasi khusus atau adanya gangguan. Saat pandemi Covid-19, berlaku situasi khusus yang mengharuskan pemerintah tak boleh gegabah mengambil kebijakan. Sementara Pasal 54 ayat (2) huruf f UU intinya kewajiban pemerintah mengeluarkan kebijakan terkait ekspor harus menjaga stabilitas harga dalam negeri.

Terpisah, Ketua DPD AA LaNyalla Mahmud Mattalitti meminta Kemendag dapat mengevaluasi dan berkoordinasi dengan kementerian kesehatan terkait komoditas alat kesehatan yang sudah diproduksi di dalam negeri. Bahkan, Universitas Gajah Mada telah memproduksi ventilator standar ICU yang sama dengan produk impor. Hanya saja masih menunggu izin edar dari Kemenkes.

“Termasuk sejumlah pabrik tekstil yang sekarang memproduksi baju APD dan masker. Ini harus mendapat prioritas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu,” katanya.

Menteri Perdagangan Agus Suparmanto menilai Permendag 57/2020 sebagai bentuk komitmen institusi negara dalam menjaga neraca perdagangan dan mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia di tengah wabah pandemi Covid-19 di Indonesia. Berlakunya Permendag Nomor 57 Tahun 2020, maka Permendag No. 23 Tahun 2020 jo Permendag Nomor 34 Tahun 2020 dinyatakan tak berlaku. Namun, pengecualian yang telah diterbitkan untuk eksportir berdasarkan Permendag No. 23 Tahun 2020 jo Permendag No. 34 Tahun 2020 tetap berlaku sampai dengan tanggal 30 Juni 2020.

Sebelumnya, Kemendag telah menerbitkan kebijakan larangan sementara ekspor antiseptik, bahan baku masker, APD dan masker melalui Permendag 23/20020 jo Permendag 34/2020. Menurutnya, Permendag itu diterbitkan sebagai upaya menjamin ketersediaan alat kesehatan di dalam negeri akibat dari dibutuhkannya di seluruh wilayah Indonesia. Akibat kebijakan itu, berdampak positif terhadap ketersediaan antiseptik yang sangat berlebih.

“Hal ini berdasarkan data dan informasi Kementerian Kesehatan dan Kementerian Perindustrian selaku pembina industri ketersediaan dalam negeri atas produk alat kesehatan,” jelas Agus.


Namun, melalui ketersediaan antiseptik, bahan baku masker, APD, dan masker yang berlebih, tidak serta merta dapat diekspor begitu saja. Sebab Kemendag melakukan degradasi pengaturan produk-produk ini dengan menggunakan mekanisme pengaturan melalui Persetujuan Ekspor (PE). Pengajuan PE dilakukan melalui sistem Indonesia National Single Window (INSW) yang terintegrasi dengan sistem Inatrade dengan persyaratan yakni melampirkan Izin Usaha Industri, rencana ekspor dalam jangka waktu enam bulan, serta surat pernyataan mandiri memiliki ketersediaan untuk kebutuhan dalam negeri.

Namun demikian, Agus menegaskan jika Kemendag memiliki kewenangan untuk membekukan PE yang sudah diterbitkan dan/ataumenolak pengajuan permohonan PE. Pembekuan PE dilandasi adanya data/informasi terjadinya peningkatan kebutuhan di dalam negeri terhadap bahan baku masker, masker, dan/atau APD.

Pembekuan PE Bahan Baku Masker, Masker dan APD dapat diberikan pengecualian kepada eksportir yang telah mendapatkan nomor dan tanggal pendaftaran PEB dari Kantor Pabean. Dia berharap dengan berlakunya Permendag 57/2020 ini dapat memberikan kepastian regulasi bagi pelaku usaha alat kesehatan di Indonesia.

Tags:

Berita Terkait