Butuh Sosialisasi Masif atas Substansi RUU Cipta Kerja
Berita

Butuh Sosialisasi Masif atas Substansi RUU Cipta Kerja

Hanya 26 persen warga yang mengetahui RUU Cipta Kerja menunjukkan ada pekerjaan rumah untuk menyebarkan informasi tentang RUU secara lebih luas dan merata agar lebih diketahui masyarakat

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR, tempat pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR. Foto: RES
Gedung DPR, tempat pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR. Foto: RES

Hasil survei yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) terhadap 2.215 responden yang dipilih secara acak pada 8-11 Juli 2020 menunjukan hanya 26 persen responden yang mengetahui RUU Cipta Kerja dan 74 persen belum tahu. Dari 26 persen responden itu, sebagian besar (52 persen) mendukung pengesahan RUU pada Agustus 2020. Angka ini meningkat dibanding survei sebelumnya pada Maret yang hanya 14 persen yang mengetahui RUU Cipta Kerja.

“Wawancara per telepon dilakukan 8-11 Juli 2020 terhadap 2.215 responden yang dipilih secara acak di seluruh Indonesia,” kata Direktur Riset SMRC Deni Irvani dalam konferensi pers secara daring, Selasa (14/7/2020). (Baca Juga: Polemik Kewenangan Pemerintah Batalkan Perda dalam RUU Cipta Kerja)

Mengacu hasil tersebut, Deni Irvani menilai warga masyarakat yang mengetahui RUU Cipta Kerja masih rendah. Meski begitu, hasil itu menunjukan meningkatnya dukungan agar RUU Cipta Kerja disahkan. Lalu, responden yang mengetahui RUU Cipta Kerja itu sebanyak 58 persen mendukung langkah Presiden Jokowi menjadikan RUU Cipta Kerja sebagai instrumen kebijakan mengatasi krisis ekonomi.

Sebanyak 66 persen mendukung menjadikan RUU Cipta Kerja sebagai kebijakan mengatasi pemutusan hubungan kerja (PHK) dan memperluas lapangan kerja. Mayoritas responden yang mengatahui RUU ini yakin kebijakan tersebut akan membawa manfaat bagi ekonomi Indonesia.

“Kenyataan baru 26 persen warga yang mengetahui RUU Cipta Kerja menunjukkan ada pekerjaan rumah untuk menyebarkan informasi tentang RUU secara lebih luas dan merata agar lebih diketahui masyarakat,” ujar Deni.

Pentingnya konsultasi publik

Pengamat Ekonomi UGM, Poppy Ismalina menekankan pentingnya konsultasi publik yang melibatkan berbagai pihak secara luas sebelum pemerintah mengambil kebijakan publik, termasuk pengesahan RUU Cipta Kerja. Dari survei itu, Poppy melihat yang mendukung RUU Cipta Kerja antara lain dari kalangan petani, nelayan, dan ibu rumah tangga. Mayoritas responden juga mengakui kondisi ekonomi sekarang lebih buruk dari sebelumnya.

Ekspektasi responden terhadap RUU Cipta Kerja ini, menurut Poppy cukup tinggi. Misalnya 56 persen responden yakin RUU Cipta Kerja akan membuka lapangan kerja, meningkatkan kemudahan berusaha (52 persen), kepastian berusaha (47 persen), bantuan kemudahan dan bantuan untuk UMKM serta koperasi (39 persen). Menurutnya, jika ekspektasi tinggi ini tidak mampu dijawab dengan baik, maka akan menjadi “bom waktu” bagi pemerintah.

Poppy berpendapat ekonomi Indonesia didominasi sektor dengan nilai tambah rendah. Kondisi ini semakin buruk karena tingkat produktivitas juga rendah. Sektor yang berkontribusi tinggi menyerap tenaga kerja Indonesia sampai 58 persen yakni usaha mikro. Perekonomian Indonesia banyak ditopang oleh konsumsi rumah tangga.

Dia mengingatkan sebelum mengesahkan RUU Cipta Kerja, pemerintah dan DPR harus membahas secara serius berbagai pasal yang dinilai bermasalah seperti PKWT, outsourcing, pengupahan, dan waktu kerja. “Kami mendukung RUU ini untuk menciptakan lapangan kerja yang layak agar masyarakat dapat memenuhi kebutuhan hidup secara layak,” katanya.

Ketua Umum KASBI, Nining Elitos, mengatakan sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) sejak awal menilai penyusunan RUU Cipta Kerja tidak transparan. Pemerintah hanya mengajak kalangan dunia usaha. Pihak buruh baru diajak ketika draft pemerintah sudah final dan diserahkan ke DPR. “Kerja layak dan upah layak tidak akan terwujud jika regulasi yang diterbitkan substansinya buruk,” kata dia.

Menurut Nining, responden yang mendukung RUU Cipta Kerja belum mengetahui substansi RUU secara jelas. Dia menyebut sebelum pemerintah menyerahkan draft RUU Cipta Kerja kepada DPR, masyarakat terutama kalangan buruh kesulitan mengakses rancangan draft tersebut. Nining mengingatkan pemerintah dan DPR untuk berhati-hati dalam menerbitkan UU. “RUU Cipta Kerja ini berdampak besar tidak hanya kepada kalangan buruh, tapi juga masyarakat hukum adat, lingkungan hidup, dan pertanahan. Jangan sampai hanya mengeksploitasi SDM dan SDA,” kata dia.

Wakil Ketua Komisi IX DPR, Nihayatul Wafiroh, menilai RUU Cipta Kerja ditujukan untuk meningkatkan perekonomian, kesejahteraan rakyat, dan membuka lapangan kerja. Tapi dia mengingatkan agar tidak ada kelompok yang ditinggalkan dalam pembahasan RUU Cipta Kerja. Substansi yang paling banyak disorot masyarakat terkait klaster ketenagakerjaan, seperti menghapus upah minimum karena acuannya diganti menjadi jam kerja dan memangkas pesangon.

Pembahasan RUU Cipta Kerja menurut Nihayatul dilakukan oleh badan legislasi (baleg) DPR. Dia mengimbau seluruh masyarakat untuk mengawal dan memberi masukan terhadap RUU Cipta Kerja. “Semua masukan masyarakat harus didengarkan,” katanya.

Tags:

Berita Terkait