Capaian Progresif Pembahasan RUU TPKS
Terbaru

Capaian Progresif Pembahasan RUU TPKS

Seperti adanya kesepakatan delapan jenis kekerasan seksual dari sebelumnya hanya 5 bentuk tindak pidana kekerasan seksual.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Badan Legislasi (Baleg) dan pemerintah mentargetkan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dapat rampung sebelum pekan ketiga di bulan April 2022. Pembahasan memang dilakukan secara maraton antara Baleg dengan pemerintah. Menariknya dinamika pembahasan menghasilkan banyak capaian progresif.

Wakil Koordinator Maju Perempuan Indonesia (MPI) Titi Anggraini mengapresiasi komitmen DPR dan pemerintah dalam membahas draf RUU TPKS secara transparan dengan menyerap masukan dari elemen masyarakat. Termasuk menuntaskan pembahasan RUU TPKS dengan membuat jadwal ketat. Baginya, terdapat banyak perkembangan positif dalam pembahasan draf RUU TPKS antara Baleg dan pemerintah.

Seperti, diakomodirnya substansi progresif dan menunjukan betapa RUU berpihak terhadap korban. Kemudian diperluasnya ruang lingkup kekerasan seksual dari semula 5 bentuk jenis tindak pidana kekerasan seksual menjadi lebih lengkap cakupannya. Selain itu, dimasukannya korporasi sebagai pelaku, serta pengakuan terhadap pendamping korban secara eksplisit.

“Ini merupakan perkembangan positif dari dinamika pembahasan RUU TPKS,” ujarnya melalui keterangannya, Selasa (5/4/2022).

Baca:

Dalam pembahasan RUU TPKS, Baleg dan pemerintah menyepakati delapan jenis kekerasan seksual sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 ayat (1) draf RUU TPKS. Pasal 4 ayat (1) menyebutkan, “Tindak pidana kekerasan seksual terdiri atas pelecehan seksual nonfisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; dan pemaksaan perkawinan; penyiksaan seksual; perbudakan seksual; dan pelecehan seksual berbasis elektronik”.

MPI berharap betul jelang pengesahan RUU TPKS menjadi UU nantinya, DPR dapat lebih komprehensif mendengarkan masukan dari kelompok elemen masyarakat sipil, khususnya terkait pengaturan restitusi yang semestinya dapat bermanfaat sangat dan keadilan bagi para korban. Tak hanya itu, mensinkronisasikan pengaturan tindak pidana yang terdapat dalam RUU TPKS dengan draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

“Khususnya menyangkut tindak pidana perkosaan, harus benar-benar dikawal agar tidak justru melemahkan substansi dan semangat yang dibawa oleh RUU TPKS ini,” ujar perempuan yang juga pegiat kepemiluan itu.

Aktivis Perempuan Mahardhika, Vivi Widyawati dari Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban (JPHPK) mengatakan sedari awal pembahasan RUU diwarnai dengan dinamika positif. Sebab, adanya semangat dan komitmen yang sama antara Baleg dan pemerintah terhadap RUU TPKS yang bakal menjadi payung hukum dalam melindungi masyarakat dari kekerasan seksual.

DPR dan pemerintah memang masih mematangkan daftar inventarisasi masalah (DIM) sebelum nantinya dibahas dalam rapat pleno Baleg. Vivi mengakui pembahasan antara Baleg dan pemerintah berjalan dinamis. Malahan mengalami banyak capain. Namun begitu, diakui masih terdapat beberapa hal yang perlu diperjuangkan. Namun, memang sejauh ini sudah terdapat delapan bentuk kekerasan seksual yang sebelumnya hanya lima bentuk tindak pidana kekerasan seksual.

“Ada tambahan antara lain pasal perbudakan seksual dan pemaksaan perkawinan. Ini sebuah capaian yang progresif,” ujarnya.

Vivi berharap pasca digelarnya rapat Panja pada Sabtu (2/4/2022) pekan lalu, tim perumus  tidak tergesa-gesa membahas lanjutan DIM dan draf RUU TPKS. Selanjutnya, memperdalam substansi/materi RUU dengan mengedepankan asas kehati-hatian. Sebab, informasi yang beredar, RUU TPKS bakal disahkan menjadi UU pada 21 April 2022 mendatang.

Sebelumnya, Ketua DPR Puan Maharani mengatakan banyak pihak mempertanyakan nasib RU TPKS yang tak kunjung disahkan menjadi UU. Padahal, kata Puan, tak ada upaya menjegal. Tapi RUU TPKS perlu melewati beragam mekanisme dan pertimbangan untuk dapat masuk tahap pembahasan hingga disahkan menjadi UU. Bagi Puan, RUU TPKS dibahas dengan landasan dan mekanisme yang ada.

“Saya kan juga ada di depan meminta supaya RUU TPKS ini bisa segera dibahas. Tapi ya saya juga tidak mau menerjang atau kemudian melompati mekanisme yang ada,” ujarnya.

Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu berharap produk hukum yang dihasilkan nantinya dapat maksimal mencegah terjadinya TPKS. Bahkan memberikan perlindungan bagi korban kekerasan, khususnya perempuan dan anak. Terpenting, dalam pembahasan tidak terburu-buru, tapi materi muatan RUU TPKS nantinya dapat bermanfaat mencegah dan melindungi korban kekerasan seksual.

Tags:

Berita Terkait