Catatan Indef Terhadap Draf Revisi UU Minerba
Berita

Catatan Indef Terhadap Draf Revisi UU Minerba

Jangan sampai melupakan aspek perlindungan inklusif, perlindungan terhadap lingkungan, dan perlindungan terhadap sosial.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi usaha pertambangan. Foto: RES
Ilustrasi usaha pertambangan. Foto: RES

Di tengah situasi nasional menghadapi sebaran pandemi Covid-19, perhatian publik kembali tertuju kepada upaya anggota DPR menyelesaikan sejumlah Rancangan Undang-Undang yang pernah ditolak pada akhir periode lalu. Salah satu yang paling cepat progresnya adalah pembahasan Revisi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba).

 

Bagaimana tidak? Dalam jangka waktu 10 hari, pembahasan 900-san Daftar Inventaris Masalah (DIM) dirampungkan oleh DPR tanpa melibatkan partisipasi publik. Terkahir, bahkan Komisi VII DPR telah mengagendakan pelaksanaan pembahasan tingkat 1 atau pengesahan draf RUU di tingkat Komisi. 

 

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menaruh perhatian terhadap sejumlah pasal yang rencananya akan disahkan beberapa waktu lalu. Peneliti Center of Food, Energy and Sustainable Development Indef, Imaduddin Abdullah, mengatakan terdapat beberapa hal yang harus dikritisi dari draf Revisi UU Minerba yang telah beredar di publik.

 

Menurut Imaduddin, ada kesan pemerintah mau memberikan keleluasaan kepada investor di sektor pertambangan. Ia menilai langkah pemerintah dengan meningkatkan iklim investasi merupakan langkah yang baik. Tapi di satu sisi jangan sampai melupakan aspek perlindungan inklusif, perlindungan terhadap lingkungan, dan perlindungan terhadap sosial. 

 

“Artinya jangan sampai investor dimudahkan tapi kita melupakan pengentasan kemiskinan, perlindungan terhadap lingkungan dan sebagainya,” ujar Imaduddin dalam diskusi online, Rabu (15/4).

 

Selain itu Imaduddin mengingatkan tentang masih banyaknya permasalahan tumpang tindih perizinan di sektor tambang yang hingga saat ini belum selesai. Terkait hal itu, ia mengungkapkan tentang banyaknya izin bermasalah (tidak clear n clear) serta maraknya konflik lahan di sekitar tambang.

 

Kemudian, terkait kewenangan daerah yang dalam draf RUU akan dialihkan ke pusat, menurut Imaduddin penting untuk didiskusikan. Desentralisasi pengelolaan tambang di Indonesia sesuai dengan semangat otonomi daerah. Menurutnya, tujuan dari kebijakan di buat di level daerah adalah agar mampu menggambarkan preferensi masyarakat yang sesungguhnya. 

 

“Semangat ini jangan sampai dibalik lewat RUU Minerba sehingga terjadi resentralisasi pengelolaan tambang di Indonesia,” ujarnya mengingatkan.

 

Ia juga menekankan aspek kesejahteraan masyarakat di wilayah penghasil tambang. Imaduddin mengingatkan bahwasanya terdapat tanggung jawab sosial perusahaan pemegang Ijin Usaha Pertambangan (IUP) terhadap masyarakat. Ia menilai, jika pengelolaan fiskal dilakukan secara konsisten maka hal ini memberikan tambahan penghasilan yang besar bagi daerah penghasil tambang.

 

(Baca: Ramai-ramai Menolak Pembahasan Revisi UU Minerba di Saat Darurat)

 

Poin lain yang juga disinggung Imaduddin tentang hilirisasi hasil tambang. Ia mempertanyakan konsistensi pelaksanaan kewajiban peningkatan nilai tambah yang sudah diamanahkan UU Minerba. Sejak UU No 4 Tahun 2009 disahkan, Imaduddin menilai tidak ada konsistensi pelaksanaan kewajiban peningkatan nilai tambah.

 

Selain itu ia mengingatkan tentang perlu adanya Bab khusus dari Revisi UU Minerba yang mengatur tentang pembahasan lingkungan, mulai dari kegiatan pra produksi, produksi, dan pasca produksi. Kewajiban bagi perusahaan untuk melakukan reklamasi sesuai standar reklamasi dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan awal dan potensi ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat masih menjadi pekerjaan rumah hingga saat ini. 

 

Terakhir, perlu ada ketentuan yang mengatur tentang transparansi kontrak tambang termasuk pengungkapan benerficial ownership. “Ini sudah menjadi best practice di berbagai negara, di mana negara yang bisa mendorong sektor pertambangan yang baik, mereka didasarkan oleh transparansi dan akuntabilitas di sektor pertambangan salah satunya adalah pengungkapan BO jangan sampai terjadi kebocoran,” ujarnya.

 

Peneliti Senior Indef, Berly Martawardaya, menambahkan berdasarkan fakta hasil penelitiannya di tingkat Kabupaten/Kota, daerah yang banyak penerimaan dari tambang justru kemiskinan dan kesenjangan meningkat dan tidak berdampak pada pertumbuhan. Menurutnya, hal ini harus menjadi perhatian pemerintah.

 

Ia mempertanyakan langkah pemerintah yang menarik perizinan sektor tambang menjadi wewenang pemerintah pusat. Berly berpendapat pemerintah harus melakukan evaluasi terlebih dahulu apakah benar izin di tangan pemerintah daerah tidak cukup berhasil, sehingga harus ditarik ke pusat. Ia juga mengingatkan perlu adanya pengawasan terhadap mekanisme penerbitan izin tambang di pemerintah pusat.

 

“Lalu bagaimana penjagaannya kalau digeser ke pusat sehingga tidak terjadi lagi kesalahan-kesalahan sebagaimana ketika izin di tangan kabupaten/kota ataupun provinsi,” ujar Berly.

 

Berly mengingatkan ketentuan Pasal 43 draf Revisi UU Minerba yang mengatur mineral ikutan dari mineral utama yang menjadi komoditas tambang tidak lagi harus dilaporkan. Ia mempertanyakan alasan adanya ketentuan tersebut. Menurut Berly, seharusnya mineral ikutan tersebut bisa menjadi sumber pendapatan negara yang lain karena ada royalti yang harus diperoleh negara.

 

Begitu juga dengan ketentuan Pasal 45 tentang mineral yang ikut tergali pada fase eksplorasi yang tidak kena royalti. Menurut Berly, harus diatur batas toleransi mineral tergali tersebut. Jika sudah melebih batas yang diatur, harusnya jumlah mineral tergali dilaporkan ke pemerintah. Jangan sampai ketentuan ini menjadi celah hukum untuk timbulnya abuse di kemudian hari.

 

“Fase ini kan biasanya digali hanya untuk dites kandungannnya berapa. Jadi intinya buat pemetaan kandungan. Jangan sampai ini menjadi diam-diam dieksploitasi tapi tidak kena royalti sehingga potensi abuse dan kehilangan pendataan negara. Makanya perlu ada limit berapa yang bisa digali tanpa kena royalti di fase eksplorasi,” terang Berly.

Berly juga menyinggung keberadaan Pasal 168 a draf Revisi UU Minerba. Dalam pasal tersebut diatur perpanjangan PKP2B menjadi IUPK tanpa mekanisme lelang. Padahal di UU Minerba saat ini, PKP2B yang telah habis masanya mesti melalui mekanisme lelang. Bukan perpanjangan otomatis. 

 

Sementara Ekonom senior Indef Faisal Basri mengusulkan, terkait tanggung jawab sosial perusahaan yang tidak diatur secara tegas dalam draf Revisi UU Minerba bisa diganti dengan sovereign wealth fund. Menurut Faisal, kewajiban CSR seperti sekarang membuat tanggung jawab perusahaan menjadi seperti pajak yang sifatnya wajib. Karena itu Faisal mengusulkan adanya sovereign wealth fund menggantikan CSR.

 

“Dia (perusahaan) menabung untuk menyisihkan kekayaan alam ini untuk generasi mendatang supaya mereka juga bisa menikmati. Kalau cara kita menguras seperti sekarang akan bahaya dan tidak ada pembicaraan sama sekali tentang kepedulian pengelolaan kekayaan alam kita ini untuk generasi yang akan datang,” tutup Faisal.

 

Tags:

Berita Terkait