Catatan Minus Legislasi, Penegakan Hukum, dan HAM Satu Tahun Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf
Berita

Catatan Minus Legislasi, Penegakan Hukum, dan HAM Satu Tahun Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf

Mulai revisi UU KPK, UU Minerba, hingga UU Cipta Kerja yang proses dan materi muatannya dinilai jauh dari harapan publik. Penegakan hukum berbanding terbalik dengan visi dalam kampanye Pemilihan Presiden 2019. Indeks kebebasan sipil di Indonesia pun terus merosot.

Rofiq Hidayat
Bacaan 7 Menit
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin saat menyampaikan kinerja lembaga negara dalam Sidang Tahunan MPR 2020, (14/8/2020) lalu. Foto: RES
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin saat menyampaikan kinerja lembaga negara dalam Sidang Tahunan MPR 2020, (14/8/2020) lalu. Foto: RES

Sudah genap setahun sejak dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden pada Oktober 2019 lalu, Joko Widodo dan Ma’ruf Amin memiliki sejumlah pekerjaan rumah. Satu tahun Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf bidang legislasi, penegakan hukum, dan HAM menjadi sorotan dan catatan minus oleh beberapa elemen masyarakat. Mulai tudingan pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui revisi UU KPK, Perppu Penanganan Covid-19 revisi UU Minerba, revisi UU MK, hingga RUU Cipta Kerja. Penegakan hukum dan HAM pun masih dinilai minus oleh sebagian kalangan. 

“Satu tahun Pemerintahan Joko Widodo–Ma’aruf Amin dijejali maraknya produk hukum yang menuai kontroversi,” ujar anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan, Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana dalam keterangan persnya terkait satu tahun Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. (Baca Juga: Bila Perppu Tak Terbit, Uji Formil UU Cipra Kerja Ujian Independensi MK)

Dimulai dari penolakan sejumlah RUU dari berbagai elemen masyarakat dan mahasiswa melalui aksi demonstrasi di berbagai daerah. Diantaranya, penolakan pengesahan revisi UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjadi UU No.19 tahun 2019; RUU KUHP; revisi UU Minerba; revisi UU Pertanahan. Momen ini sekaligus tragedi dugaan pelanggaran HAM lantaran berbagai aksi demonstrasi pada September 2019 menelan korban.  

Kebijakan legislasi lain yang menjadi sorotan, antara lain Perppu No.1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 yang menjadi UU No.2/2020; revisi UU No. 4 Tahun 2009 yang menjadi UU No.3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba); dan revisi UU MK yang tengah diuji di MK. “Produk hukum tersebut dicurigai sarat kepentingan elit politik dan elit di sektor bisnis,” kata Kurnia Ramadhana.

Kurnia menilai sejumlah UU itu terbaca arahnya yang ditengarai lebih menguntungkan kalangan elit politik dan pembisnis untuk meraup keuntungan besar yang kecil kemungkinan bisa disentuh hukum. Sementara Perppu 1/2020 yang terbit di penghujung Maret 2020 dan disahkan pada Mei 2020 dinilai menguntungkan sekelompok pengusaha. Seperti memuat aturan penurunan pajak korporasi dari 25 persen menjadi 22 persen; pemangku kebijakan diberi imunitas hukum. Selang beberapa hari kemudian, revisi UU 4/2009 disahkan menjadi UU pada 13 Mei 2020 dan menjadi UU 3/2020.

Menurut ICW, UU 3/2020 dinilai menjamin korporasi besar untuk mengeruk sumber daya mineral dan batubara. Akibatnya, kesempatan negara mengelola sumber daya alam secara mandiri seolah hilang karena dilepaskan ke tangan pihak swasta. Berlanjut dengan revisi UU 24/2003 tentang MK yang pembahasan dan pengesahannya terkesan tertutup dan berjalan maraton yang membuat publik curiga.

Pembahasan seluruh produk hukum ini dinilai tertutup, bahkan terburu-buru. Ironisnya, minim membuka partisipasi publik. Menurutnya, keseluruhan produk hukum tersebut dapat dilihat sebagai bentuk konsolidasi elit politik dan kelompok bisnis yang menguat dan solid. “Revisi UU MK juga sarat nuansa konflik kepentingan. Ini dikarenakan saat disahkan, MK tengah menyidangkan dua UU yang diusulkan oleh DPR dan Presiden yaitu uji formil dan materil UU KPK, uji materi Perppu No 1/2020, dan uji formil dan materi UU Minerba,” lanjutnya.

Dia menerangkan salah satu substansi terpenting revisi UU MK yakni memberikan batas waktu usia hakim MK lebih panjang. “Boleh jadi, aturan itu bisa mempengaruhi indepedensi MK, sehingga menguntungkan pemerintah dan DPR saat pengambilan keputusan terkait uji materi produk UU yang dianggap bermasalah oleh banyak kalangan.”

Langkah serupa sejak awal 2020 hingga saat ini melalui pembentukan RUU tentang Cipta Kerja melalui pendekatan metode omnibus law yang sejak awal penyusunan di pemerintah sudah menuai penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Demikian pula, saat proses pembahasan, hingga persetujuan, hingga substansinya pun menuai kontroversi dan penolakan.

ICW melihat UU Cipta Kerja yang disahkan 5 Oktober lalu bermasalah dari sisi prosedur pembentukannya maupun substansinya. Seperti proses pembentukannya cacat prosedur (formil); dugaan konflik kepentingan pembentuk UU; materi muatan pasalnya lebih menguntungkan pengusaha; ancaman terhadap desentralisasi; masalah asimetris informasi; dan masih banyak lainnya. Secara vulgar publik dipertontonkan proses pembahasan dan pengesahan yang diduga diwarnai ketidakjujuran pembentuk UU.

“Lima produk hukum di atas menunjukkan ada skenario elit politik-bisnis untuk semakin menguasai sumber daya publik melalui instrumen legislasi yang nyaris berjalan sempurna,” katanya.

Anggota Komisi II  dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) Mardani Alisera mengakui pembentukan UU Cipta Kerja dengan metode omnibus law menjadi yang memicu kontroversial berkepanjangan. Sebab, dia melihat jelas tak diinternalisasinya nilai-nilai demokrasi dalam tata kelola pemerintahan dalam proses legislasi yang semestinya menjadi wadah penampung aspirasi publik.

Sejak awal, dia menilai pembahasan RUU Cipta Kerja di tengah situasi pandemi Covid-19 amat dipaksakan. Hal ini juga yang menyebabkan keterbatasan atau minimnya partisipasi masyarakat dalam memberi masukan untuk penyempurnaan UU Cipta Kerja ini.

Penegakan hukum

Bagi Mardani, sektor penegakan hukum, kinerja KPK hingga Kejaksaan Agung dalam penanganan kasus Djoko Tjandra pun menjadi sorotan. Dia menilai KPK cenderung disibukan dengan seputar naiknya gaji pimpinan dan rencana pemberian mobil dinas yang bertentangan dengan konsep single salary-nya KPK. “Lalu penanganan kasus Djoko Tjandra yang belum membongkar semuanya, makin menunjukkan kondisi penegakan hukum masih jauh dari harapan,” ujarnya.

Selain itu, kebebasan hak berekspresi dan berpendapat menjadi catatan buruk bagi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf dalam satu tahun terakhir. Mardani merujuk catatan KontraS terdapat 157 kasus sepanjang satu tahun ini. Sejumlah aktivis ditangkap atas tuduhan melanggar UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). “UU ITE kerap menjadi dasar penangkapan. Seharusnya dudukkan dulu proporsinya sesuai hak dasar kebebasan menyampaikan pendapat dan berserikat,” ujarnya.

Sementara Kurnia melanjutkan penegakan hukum berbanding terbalik dengan visi-misi saat saat Kampanye Pemilihan Presiden 2019 lalu. Menurutnya, penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi mengalami kemunduran. Merujuk Pasal 8 UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan Pasal 19 ayat (2) UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, pada prinsipnya presiden merupakan atasan struktural bagi Kapolri dan Jaksa Agung. Begitupula bagi KPK pasca berlakunya UU 19/2019. Sebab, KPK telah dikooptasi masuk dalam rumpun kekuasaan eksekutif.

“Penilaian komitmen eksekutif menjadi relevan saat mengukur keberpihakan penegakan hukum, khususnya dalam pemberantasan korupsi.”

Dia menilai berdasarkan catatan ICW dan Transparency International Indonesia (TII), setidaknya terdapat tiga permasalahan kelembagaan KPK. Pertama, pengelolaan internal kelembagaan. Kedua, penindakan. Ketiga, pencegahan. Baginya, seluruh problematika itu tak bisa dilepaskan dari figur pimpinan yang pada periode lalu dipilih oleh Presiden Joko Widodo bersama dengan DPR.

“penegakan hukum lain kondisinya pun tidak jauh berbeda. Salah satu indikator melihat performa buruk Kejaksaan Agung dan Kepolisian adalah kasus terpidana sekaligus buronan hak tagih Bank Bali, Djoko Tjandra. Kasus ini mencuat ke publik pada pertengahan tahun ini. Dugaanya, adanya persekongkolan para penegak hukum. Sampai saat ini diketahui dua perwira tinggi Polri dan satu orang jaksa diduga melakukan permufakatan jahat untuk membebaskan dan membantu pelarian Djoko Tjandra.”

Dalam kasus jaksa Pinangki Sirna Malasari di Kejagung menuai ragam kritik masyarakat. Diduga ada upaya perlindungan internal terhadap Pinangki. Bermula saat Kejagung menerbitkan Pedoman Pemeriksaan Jaksa, pemberian bantuan hukum, mengabaikan pengawasan Komisi Kejaksaan (Komjak), hingga ketiadaanya koordinasi dengan KPK sebelum pelimpahan perkara ke Pengadilan. Presiden pun diam saja melihat kejanggalan tersebut.

“Melihat situasi seperti ini, ke depan potret penegakan hukum dan pemberantasan korupsi akan semakin suram,” katanya.

Penegakan HAM

Di sektor penegakan hak asasi manusia (HAM) pun tak jauh berbeda dengan hukum. Menurut Direktur Eksekutif Elsam, Wahyu Wagiman, demontrasi berskala besar berhari-hari atas penolakan UU Cipta kerja belakangan menjadi akumulasi protes terhadap kegagalan negara dalam menjalankan proses legislasi yang baik dan adil bagi masyarakat. Persetujuan DPR dan pemerintah terhadap RUU Cipta Kerja menjadi UU adalah titik kulminasinya, setelah sejumlah RUU lainnya disahkan terlebih dahulu, dengan menghiraukan aspirasi publik.

“Sayangnya, aksi-aksi penolakan berbagai kebijakan hukum tersebut tidak pro-HAM karena seringkali direspon dengan penggunaan kekuatan eksesif aparat keamanan,” ujarnya.

Sejumlah persoalan dan tantangan serius diidentifikasi dalam setahun pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Mulai problem perlindungan kebebasan sipil; kemandegan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu; involusi dalam penegakan HAM; hingga rentetan permasalahan hak asasi manusia di Papua. Secara umum, kata Wahyu, tahun pertama periode kedua pemerintahan Jokowi dapat dikatakan sebagai tahun involusi hak asasi manusia di Indonesia. “Mengapa kemunduran?”

Dia menilai indeks kebebasan sipil di Indonesia terus merosot. Setidaknya, posisi Indonesia tertinggal jauh dibandingkan negara-negara lain yang bahkan baru memperoleh kemerdekaannya pada kurun 50 tahun terakhir. Seperti Vanuatu, Tonga, dan Timor Leste. Merosotnya kebebasan sipil di Indonesia, dapat dilihat dari tingginya tekanan terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Seperti, praktik intimidasi terhadap pendapat berbeda kerap terjadi. Selain itu, intruksi ke dalam ruang privat melalui instrumen serangan digital, peretasan, hingga doxing dengan tujuan intimidasi dan ancaman ketakutan. Represi dan intimidasi yang dilakukan oleh aparat keamanan semakin kasat mata sepanjang berlangsungnya protes damai menentang pengesahan UU Cipta Kerja, dalam beberapa pekan terakhir.

Selain itu, penanganan permasalahan HAM di Papua menjadi tantangan besar Pemerintahan Jokowi di periode kedua tahun pertama ini, justru menunjukan kegagalan. Kemudian penolakan Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM terhadap kasus Paniai 2014 misalnya, menjadi salah satu noda pemerintahan Jokowi yang pertama, yang mengukuhkan kesan tidak adanya komitmen pemerintah dalam menyelesaikan problem HAM di Papua.

Involusi pun nampak pada komitmen penegakan HAM secara umum, khususnya dalam pembentukan kebijakan yang memperkuat penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan HAM. Sayangnya, satu tahun masa pemerintahannya, Presiden tak kunjung mengesahkan Rencana Aksi Nasional HAM (Ranham) periode 2020-2024. Padahal Ranham, kata Wahyu, menjadi instrumen kunci memastikan pelaksanaan kewajiban negara terhadap penegakan HAM. Ranham pun menjadi alat ukur dalam menilai maju mundurnya penegakan HAM di Indonesia.

“Alih-alih memperkuat kebijakan perlindungan HAM, pemerintah justru mengakselerasi pembahasan dan pengesahan sejumlah legislasi kontroversial yang berpotensi menggerus jaminan perlindungan HAM.”

Tags:

Berita Terkait