​​​​​​​Catatan Permenkumham Pendaftaran CV, Firma dan Persekutuan Perdata Oleh: Kristian Takasdo Simorangkir*)
Kolom

​​​​​​​Catatan Permenkumham Pendaftaran CV, Firma dan Persekutuan Perdata Oleh: Kristian Takasdo Simorangkir*)

​​​​​​​Catatan tersebut berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang lain.

Bacaan 2 Menit

 

Karena persekutuan perdata pada dasarnya adalah perjanjian maka konsekuensi logis dan yuridisnya adalah berlakunya juga Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur syarat sahnya perjanjian.

 

Pembatasan terhadap pendirian persekutuan perdata dapat dilihat pada Pasal 1619 KUHPerdata yang mensyaratkan usaha persekutuan perdata harus halal dan membawa manfaat bagi para sekutu. Mengenai keharusan halalnya usaha persekutuan perdata, ini merupakan konsekuensi logis dari berlakunya Pasal 1320 KUHPerdata yang mensyaratkan, salah satunya, adanya kausa yang halal dalam membuat perjanjian.

 

Lebih lanjut, sejak saat perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1618 KUHPerdata berlaku, maka demi hukum persekutuan perdata juga sudah berlaku atau berdiri (Pasal 1624 KUHPerdata).

 

Oleh karena itu, apabila melihat pengaturan dalam ketentuan KUHPerdata, pendirian persekutuan perdata secara normatif tidak memerlukan formalitas tertentu. KUHPerdata juga tidak mensyaratkan adanya pemakaian nama untuk persekutuan perdata—bahkan bisa dibentuk secara lisan sebagaimana perjanjian juga dapat dibuat secara lisan—sehingga dapat dikatakan bahwa proses pendirian persekutuan perdata dalam KUHPerdata relatif “lebih mudah” jika dibandingkan proses pendirian yang diatur dalam Permenkumham 17/2018.

 

  1. Pendirian Persekutuan Firma

Pada dasarnya, persekutuan firma tetap didirikan berdasarkan perjanjian antara para sekutu (Pasal 15 KUHD jo. Pasal 1320 KUHPerdata). Namun, Pasal 22 KUHD mengharuskan adanya formalitas pendirian persekutuan firma untuk didirikan dengan akta otentik, walaupun keharusan ini “dilemahkan” oleh Pasal 22 KUHD sendiri yang menyatakan bahwa tidak adanya akta otentik tersebut tidak dapat dikemukakan untuk kerugian pihak ketiga. Dari rumusan Pasal 22 KUHD ini, banyak kalangan yang menafsirkan bahwa adanya akta otentik tersebut bukan syarat mutlak pendirian persekutuan firma sehingga akta otentik tersebut sebenarnya hanya untuk kepentingan pembuktian saja (lihat Pasal 1902 KUHPerdata).

 

Konsekuensi logis dari penafsiran di atas adalah persekutuan firma pada dasarnya dapat dibentuk atau didirikan dengan akta bawah tangan atau bahkan secara lisan layaknya sebuah perjanjian.

 

Dalam hal persekutuan firma dibentuk dengan akta otentik maka kepada para sekutu firma, Pasal 23, 24 jo. Pasal 28 KUHD diberikan kewajiban untuk:

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait