Catatan Reflektif atas Pengujian-Pengujian UU Advokat
Oleh: Amrie Hakim

Catatan Reflektif atas Pengujian-Pengujian UU Advokat

Beberapa waktu lalu, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie, mengungkapkan bahwa Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UUA) termasuk undang-undang yang paling banyak dimohonkan pengujiannya ke MK. Sejak 2003 hingga 2006 sudah lima permohonan yang telah diputus MK.

Bacaan 2 Menit

 

…akses pada keadilan adalah bagian tak terpisahkan dari ciri lain negara hukum yaitu bahwa hukum harus transparan dan dapat diakses oleh semua orang (accessible to all), sebagaimana diakui dalam perkembangan pemikiran kontemporer tentang negara hukum. Jika seorang warga negara karena alasan finansial tidak memiliki akses demikian maka adalah kewajiban negara, dan sesungguhnya juga kewajiban para advokat untuk memfasilitasinya, bukan justru menutupnya (vide Barry M. Hager, The Rule of Law, 2000, hal. 33). Demikian bunyi pertimbangan hukum MK dalam perkara No. 006/PUU-II/2004.

 

Maraknya judicial review yang mendera UUA tidak sepenuhnya mencerminkan seluruh kritik yang ada terhadap UUA. Advokat secara umum memiliki kritik tersendiri terhadap isi UUA maupun pelaksanaannya. Dalam berbagai kesempatan misalnya, PERADI kerap mengeluhkan belum adanya pengakuan yang tulus akan status advokat sebagai penegak hukum dari unsur penegak hukum lain. Peran advokat hingga kini cenderung masih dianggap berada di luar sistem penegakan hukum.

 

Tapi, mengingat pengujian-pengujian terhadap UUA di MK selama kurang lebih tiga tahun terakhir lebih pada tataran pelaksanaannya, hal tersebut, seperti dikatakan Ketua MK, perlu dijadikan bahan renungan tentang apa yang perlu dilakukan, termasuk konsolidasi internal, agar undang-undang yang baru nanti bisa menjadi solusi bagi perbaikan negara hukum.

 

Barangkali, perlu pula direnungkan apakah dalam perjalanannya UUA telah memberikan kemaslahatan bagi advokat dan publik secara umum seperti yang diharapkan? Advokat tidak boleh hanya berpuas diri dengan status penegak hukum dan mengejar pengakuan akan status tersebut. Bukankah pengakuan dan kepercayaan dari masyarakat jauh lebih berharga ketimbang huruf dan kalimat dalam undang-undang?

 

*) Penulis adalah alumnus FH Universitas Indonesia. Tulisan ini adalah pandangan pribadi penulis.

Tags: