Cegah Kebakaran Hutan, Presiden Didesak Jalankan Putusan MA
Berita

Cegah Kebakaran Hutan, Presiden Didesak Jalankan Putusan MA

Salah satu amar putusan memerintahkan Presiden untuk menerbitkan Peraturan Pelaksana UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi kebakaran hutan. Foto: RES
Ilustrasi kebakaran hutan. Foto: RES

Kebakaran hutan dan lahan terjadi hampir setiap tahun di sejumlah wilayah di Indonesia. Bahkan Presiden Joko Widodo sempat turun langsung ke lokasi kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di tahun 2015. Manager Kajian Kebijakan Walhi Boy Even Sembiring mengatakan pasca kebakaran di tahun 2015 itu sejumlah organisasi masyarakat sipil mengajukan gugatan Citizen Lawsuit kepada pemerintah ke Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru.

 

Gugatan itu berujung damai karena pemerintah merespon notifikasi gugatan dengan menerbitkan sejumlah kebijakan seperti Instruksi Presiden No.11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan dan Peraturan Presiden No.1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut. Tapi faktanya kebijakan itu belum mampu mengatasi persoalan kebakaran hutan dan lahan.

 

Tahun 2016 sejumlah organisasi masyarakat sipil, salah satunya Walhi, memfasilitasi masyarakat Kalimantan Tengah untuk mengajukan gugatan serupa kepada pemerintah. Melalui putusan bernomor 118/Pdt.G.LH/2016/PN.Plk tertanggal 22 Maret 2017, PN Palangkaraya mengabulkan sebagian gugatan tersebut.

 

Putusan itu antara lain memerintahkan Presiden (tergugat 1) untuk menerbitkan peraturan pelaksana UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang penting bagi pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan dengan melibatkan peran masyarakat.

 

Presiden juga dihukum untuk menerbitkan PP atau Perpres yang menjadi dasar hukum terbentuknya tim gabungan yang fungsinya tiga hal. Pertama, meninjau ulang dan merevisi izin usaha pengelolaan hutan dan perkebunan yang telah dan belum terbakar berdasarkan pemenuhan kriteria penerbitan izin serta daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup di Provinsi Kalimantan Tengah.

 

Kedua, melakukan penegakan hukum perdata, pidana, dan administrasi terhadap perusahaan yang lahannya terbakar. Ketiga, membuat peta jalan pencegahan dini, penanggulangan, dan pemulihan korban kebakaran hutan dan lahan serta pemulihan lingkungan.

 

Putusan PN Palangkaraya itu diperkuat Pengadilan Tinggi Palangkaraya lewat putusan bernomor 36/PDT/2017/PT PLK tertanggal 19 September 2017 dan putusan Kasasi bernomor 3555 K/PDT/2018 yang diputus 16 Juli 2019. Menurut Boy, kedua perkara CLS yang diajukan masyarakat dalam perkara kebakaran hutan di Riau dan Kalimantan Tengah itu layak menjadi acuan pemerintah dalam menyusun kebijakan pencegahan dan penanganan kebakaran hutan dan lahan.

 

“Presiden harus menjalankan putusan kasasi ini jika serius mencegah dan mengatasi kebakaran hutan dan lahan,” kata Boy dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (1/8/2019). Baca Juga: Pemerintah Dituntut Serius Cegah Kebakaran Hutan dan Lahan

 

Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Tengah, Dimas N Hartono berpendapat kebijakan pemerintah untuk menanggulangi kebakaran hutan dan lahan tidak akan optimal tanpa penegakan hokum yang adil. Pemerintah harus menjalankan seluruh putusan terkait kebakaran hutan dan lahan, termasuk putusan kasasi dalam perkara kebakaran hutan di Kalimantan Tengah.

 

Dimas mengingatkan putusan ini juga memerintahkan Presiden, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, dan Gubernur Kalimantan Tengah untuk membangun RS khusus Paru dan penyakit lain akibat pencemaran udara asap di Provinsi Kalimantan Tengah dan dapat diakses gratis bagi korban asap. Mengumumkan kepada publik lahan yang terbakar dan perusahaan pemegang izinnya.

 

“Mengembangkan sistem keterbukaan informasi kebakaran hutan, lahan, dan perkebunan di Provinsi Kalimantan Tengah.”  

 

Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Selatan, Kisworo menilai salah satu sebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan karena penegakan hukum yang menyasar korporasi sangat lemah. Padahal, kebakaran hutan dan lahan banyak terjadi di wilayah konsesi perusahaan. Kisworo menduga pembakaran lahan dilakukan untuk membersihkan lahan sebelum ditanam karena ini cara paling murah. Tapi pembukaan lahan dengan cara dibakar ini hanya boleh dilakukan dengan memperhatikan kearifan lokal di daerah masing-masing. Ketentuan ini diatur Pasal 69 UU No.32 Tahun 2009.

 

Penjelasan pasal 69 ayat (2) UU No.32 Tahun 2009 menyebut kearifan lokal yang dimaksud yakni melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektar per kepala keluarga untuk ditanami jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.

 

“Ketentuan ini mengakui pola tanam dengan membakar lahan merupakan bagian dari ritual adat. Kebakaran hutan dan lahan terjadi setelah banyak izin konsesi,” katanya.

Tags:

Berita Terkait