Kesekian kali DPR dan pemerintah membahas dan mengambil keputusan tingkat pertama terhadap RUU berujung polemik. Seperti RUU tentang Perubahan Keempat Atas UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Publik ingat betul saat DPR membahas perubahan ketiga UU MK dilakukan dalam waktu cepat tanpa melibatkan partisipasi publik secara bermakna. Kali ini, perubahan keempat pun dilakukan dengan cara serupa, bahkan tertutup.
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ferdian Andi mengatakan ada dampak konstitusional yang bakal diterima dengan tertutupnya pembahasan RUU Perubahan Keempat tentang UU Mahkamah Konstitusi. Malahan RUU MK tersebut menimbulkan spekulasi dan asumsi di tengah masyarakat mengingat sudah muncul sejak awal 2023 lalu.
“Jika perubahan UU MK tetap dilakukan akan berimplikasi konstitusional bagi kekuasaan kehakiman di Indonesia” ujarnya melalui keterangannya di Jakarta, Rabu (22/5/2024).
Ferdian mengingatkan mestinya setiap pembahasan RUU dilakukan secara terbuka dan melibatkan partisipasi publik secara bermakna sebagaimana mandat dari UU No.13 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Baca juga:
- Prof Susi Dwi Harijanti: RUU MK Runtuhkan Independensi Hakim Konstitusi
- Jadi Polemik, PSHK Desak Pembahasan Revisi Keempat UU MK Dihentikan
- 4 Poin Penting Revisi Keempat UU MK
Dia berpandangan, bila perubahan keempat terhadap UU MK dimaksudkan untuk perubahan syarat usia dan masa jabatan hakim MK, maka bakal berpotensi mengancam prinsip dasar kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Ferdian menunjuk Putusan MK No 81 Tahun 2023 soal perubahan UU MK khususnya terkait perubahan syarat usia dan masa jabatan bakal mengancam kemerdekaan kekuasaan kehakiman.
“Ini bertentangan dengan prinsip konstitusi sebagaimana tertuang dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945,” katanya.