Dampak Perkawinan Beda Agama di Mata Ahli
Utama

Dampak Perkawinan Beda Agama di Mata Ahli

Kemudaratan dari perkawinan beda agama ini dianggap masih lebih besar, sehingga menghindari atau menutupnya dipandang menjadi pilihan utama sesuai kaidah fiqih yang berbunyi dar’u al-mafâsid muqaddamun ‘alâ jalb al-mashâlih.

Oleh:
Ferinda K Fachri
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi sidang pleno MK
Ilustrasi sidang pleno MK

Solusi terkait pernikahan beda agama hanya dapat dilakukan dengan konversi agama. Untuk itu, pernikahan dapat dilakukan sesuai agama yang sudah disatukan dalam keyakinan yang sama yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Pandangan itu disampaikan Hairunas selaku Ahli yang dihadirkan pemerintah dalam sidang lanjutan pengujian Pasal 2 ayat (1), (2) dan Pasal 8 huruf f UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terkait syarat sahnya perkawinan dan larangan menikah oleh agamanya.

Permohonan ini diajukan E. Ramos Petege, yang memeluk agama Khatolik, pernah hendak menikah dengan seorang wanita yang memeluk agama Islam. Tetapi, setelah menjalin hubungan selama 4 tahun dan hendak menikah, perkawinan tersebut harus dibatalkan karena kedua belah pihak memiliki agama dan keyakinan yang berbeda.

Hairunas menyampaikan dampak dari pernikahan beda agama ditinjau dari perspektif psikologis. Keyakinan agama merupakan hak individu sebagai warga negara, yang hakikatnya tidak dapat dipaksakan oleh seseorang kepada yang lainnya termasuk mengubah keyakinannya. Menurutnya, pemaksaan pindah agama karena hubungan pernikahan sebenarnya dapat melukai psikologis seseorang yang cenderung emosional sesaat.

Dia juga melihat pernikahan beda agama dapat menciderai dan mengganggu kestabilan kerukunan keluarga kedua pihak baik calon istri maupun calon suami. Lebih konkrit berdasar sisi psikoterapi dan kesehatan mental, pelaku pernikahan beda agama cenderung sulit berinteraksi dalam keluarga. Terlebih, jika keduanya memiliki anak karena akan mendapati pilihan berat dan dilematis untuk mengikuti salah satu agama yang dianut orang tuanya.

Baca Juga: 

“Dari sisi agama manapun, secara teologis, ritualistis, dan normatif memiliki perbedaan terpaut jauh. Karenanya perilaku beragama diantara pasangan berbeda keyakinan dapat menimbulkan sengketa hati dan pikiran, sehingga rentan pada perpecahan dan keresahan mendalam kedua belah pihak,” ujar Hairunas yang merupakan Rektor Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau dalam persidangan, Kamis (11/8/2022) seperti dikutip laman MK.

Hairunas berpendapat cinta hanyalah emosi sesaat yang mungkin saja dapat mengalahkan hal yang prinsip. Untuk itu, cinta dapat pula berubah karena hal yang prinsip, seperti sakralitas dari agama itu sendiri. Karenanya, pasangan beda agama seringkali mengalami bentrok psikologis. Apabila pasangan tersebut memiliki keturunan, anak cenderung dilematis dalam menentukan keyakinannya. Bahkan hal ini akan dirasakan berkepanjangan dan merugikan kepribadian dari salah satu diantara keduanya. Terjadinya gesekan psikologis ini dapat saja berdampak pada perceraian.

Tags:

Berita Terkait