Debat Cawapres Kedua Dianggap Gagal Paham Krisis Iklim
Melek Pemilu 2024

Debat Cawapres Kedua Dianggap Gagal Paham Krisis Iklim

Acara debat justru dipenuhi dengan gimik-gimik dan serangan personal yang minim substansi. Krisis iklim harusnya menjadi hal utama dibahas karena berdampak terhadap kebutuhan untuk transisi energi, krisis pangan dan banyaknya bencana.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

“Tanpa memperbaiki tata kelola hilir termasuk membenahi kebijakan dua harga untuk Domestic Market Obligation (DMO) dan ekspor, bukan tidak mungkin ambisi biodiesel justru menewaskan lebih banyak lagi anggota rumah tangga di Indonesia,” tegas Andi.

Ditambah ambisi peningkatan campuran biodiesel hingga B50 akan berpotensi secara tidak langsung menimbulkan deforestasi melalui pembukaan lahan hutan untuk perkebunan sawit yang lebih luas untuk memenuhi permintaan komoditas. Andi mencatat hal ini pernah terjadi dalam kurun waktu 2014 hingga 2020, di mana terdapat peningkatan seluas 4,25 juta hektar lahan sawit dimana tahun 2016 terjadi peningkatan terbesar pasca kebijakan insentif sawit melalui BPDPKS.

Sebelumnya, Indonesia Team Lead Interim 350.org, Firdaus Cahyadi, melihat dari semua gagasan tentang energi yang diangkat masing-masing Cawapres, gagasan Cawapres Nomor Urut 2 Gibran Rakabuming Raka dinilai paling berbahaya bagi keberlanjutan agenda transisi energi ke depan.

“Bagaimana tidak, di dua kali debat Gibran terus mempromosikan Carbon Capture Storage (CCS), seolah itu merupakan solusi bagi transisi energi,” urainya.

Firdaus menegaskan CCS adalah solusi palsu transisi energi. CCS hanya memperpanjang pengggunaan energi fosil sehingga menghalangi pengembangan energi terbarukan. Laporan Panel Antar-Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), telah mengungkap kemampuan CCS mengurangi emisi yang berarti dalam dekade berikutnya tergolong sangat rendah, sementara biayanya sangat tinggi.

“Dengan biaya yang tinggi itu, harusnya investasinya langsung diarahkan ke pengembangan energi terbarukan,” usulnya.

Gagasan Gibran lainnya yang dianggap membahayakan transisi energi berkeadilan yakni pengembangan energi hijau berbasis sawit. Firdaus berpendapat jika kebijakan itu dilakukan ugal-ugalan akan menyebabkan peningkatan alih fungsi hutan menjadi perkebunan skala besar, dan justru menambah emisi gas rumah kaca di atmosfir. Sekaligus meningkatkan potensi terjadinya konflik agraria dengan masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal.

Tags:

Berita Terkait