Depkumham Siapkan 90 Legal Drafter pada 2010
Utama

Depkumham Siapkan 90 Legal Drafter pada 2010

Selama sepuluh tahun terakhir tidak kurang dari 7000 peraturan perundang-undangan diterbitkan. Kebutuhan terhadap legal drafter meningkat.

Oleh:
Mys/CR-7
Bacaan 2 Menit
Pelaksanaan ujian CPNS Depkumham di Kendari <br> Sulawesi Tenggara. Foto: depkumham.go.id
Pelaksanaan ujian CPNS Depkumham di Kendari <br> Sulawesi Tenggara. Foto: depkumham.go.id

Kebutuhan atas orang yang bisa menyusun dan merancang peraturan perundang-undangan, biasa disebut legal drafter, semakin mendesak. Kebutuhan itu terutama dirasakan lembaga-lembaga pemerintah dan pemerintah daerah yang banyak bergelut dengan pembentukan peraturan perundang-undangan. Paling tidak, setiap lembaga diharapkan memiliki 5 sampai 10 tenaga fungsional perancang peraturan perundang-undangan.

 

Pentingnya mendidik sebanyak mungkin legal drafter kembali mengemuka dalam diskusi sederhana yang digelar di sela-sela Legal Expo di Departemen Hukum dan HAM, Kamis (19/11) pekan lalu. Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar sempat meninjau perhelatan itu sebelum berangkat ke Senayan untuk menggelar rapat dengan Badan Legislasi DPR.

 

Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) yang menggelar gawe tersebut menargetkan 90 orang untuk dididik sebagai tenaga fungsional penyusunan dan perancangan peraturan perundang-undangan (suncang). Mereka akan dididik menjadi tenaga fungsional suncang yang profesional, berkualitas dan bertanggung jawab.

 

Jabatan fungsional suncang diamanatkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan khusus untuk penyusunan peraturan daerah diatur juga dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah.

 

Untuk hal-hal teknis, Presiden Susilo Bambang Yudhono sudah mengeluarkan Perpres No. 37 Tahun 2006 tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan. Di level kementerian sudah ada dua regulasi yang dikeluarkan, yaitu SK Men-PAN No. 41/Kep/M.PAN/12/2000 tentang Jabatan Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan, dan Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. M.73.KP.04.12 Tahun 2006 tentang Diklat Jabatan Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan.

 

Sonny Maulana Sikumbang, dosen ilmu perundang-undangan Universitas Indonesia mengungkapkan bahwa kebutuhan akan adanya jabatan fungsional suncang merupakan kebutuhan yang sangat besar. Sebagai gambaran, Sonny menjelaskan bahwa kabupaten di Indonesia jumlahnya melebihi jumlah hari dalam tahun, ditambah lembaga pemerintah tingkat pusat dan provinsi saja bisa mencapai 400.

 

Jumlah yang besar pasti membutuhkan orang-orang yang ahli merancang peraturan perundang-undangan. Selain itu, menurut Sonny, yang harus dilakukan adalah perluasan penyebaran pengetahuan suncang di kabupaten/kota dan daerah secara umum.

 

Menanggapi target Depkumham untuk mendidk 90 orang sebagai tenaga fungsional, Sonny merasa jumlah itu masih jauh dari cukup. Hal ini dikarenakan kebutuhan yang ada terhadap jabatan fungsional suncang ini secara kuantitas sangat besar. Terlebih dalam setiap penyusunan dan perancangan perundang-undangan, biasa dilakukan oleh satu tim, yang terdiri dari delapan atau enam orang.

 

Namun demikian, Sonny menilai, hal ini adalah permulaan yang bagus, walaupun jumlah itu harus ditingkatkan lagi. Ia juga mengkritisi materi ada di dalam pelatihan. Harus ada pemilahan kurikulum sesuai kebutuhan. Misalnya, untuk jabatan fungsional suncang yang akan ditempatkan di daerah, diperlukan materi yang lebih bersifat teknik drafting.

 

Sonny menegaskan, walaupun di masing-masing lembaga sudah ada bagian yang bertanggungjawab untuk menyusun dan merancang peraturan perundang-undangan, namun adanya jabatan fungsional suncang ini, tetap menjadi hal yang penting.

 

Hal ini dikarenakan, diperlukan adanya keahlian khusus untuk menyusun dan merancang peraturan perundang-undangan yang bahkan tidak dimiliki oleh semua sarjana hukum. Selain itu, kegiatan suncang menurutnya, adalah kegiatan yang multidimensi. Sehingga, tidak harus dilakukan oleh sarjana hukum.

 

Baru empat orang

Wahiduddin Adam, Direktur Fasilitasi Perancangan Peraturan Daerah Ditjen Perundang-Undangan Depkumham menyatakan bahwa hingga saat ini, untuk daerah, baru ada empat orang yang statusnya berstatus jabatan fungsional, sebagai legal drafter. Keempat orang itu ditempatkan di Yogyakarta.

 

Ditambahkan Wahid yang menjadi masalah adalah ketidaktahuan pemimpin daerah mengenai prosedur pengajuan jabatan fungsional itu sendiri. Karena, prosedur pengajuan tersebut tidak sama dengan mengajukan promosi jabatan-jabatan yang biasa. Yang menjadi masalah lainnya, lanjut Wahid, adalah jabatan fungsional kurang menarik minat banyak orang. “Motivasi untuk jabatan fungsional itu tidak menarik. Tidak seksilah,” ujarnya.

 

Wahid juga mengungkapkan bahwa selama ini, untuk membentuk Perda, sebenarnya baik pihak Pemda maupun DPRD sudah memiliki sumber daya yang menyusun dan merancang. Namun, jabatan mereka bukan jabatan fungsional. “Kemampuan sudah bisa, hanya bahwa dia belum memilih profesinya sebagai fungsional,” jelasnya.

 

Jabatan fungsional sendiri, menurut Wahid sangat penting agar pejabat yang bersangkutan bisa menjalani jabatannya secara tetap. Selain itu, diharapkan kalau suatu rancanganya telah disapkan  oleh tenaga fungsional yang memang mempunyai kualifikasi tertentu, diharapkan rancangan Perda itu terhindar dari pembatalan di kemudian hari.

 

Mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan di daerah, P Agung Pambudhi, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), menyatakan bahwa fakta di daerah, masih menunjukkan Perda yang dibuat, terutama Perda masalah perekonomian dan aktivitas perdagangan cenderung cut and paste saja. Perda-perda yang ada bersifat generik, sehingga antara daerah yang satu dengan daeah lainnya bisa sama persis.

 

Keberadaan legal drafter di daerah pun, masih dalam kondisi yang minim. Agung mengungkapkan bahwa selama ini Perda di internal Pemda disiapkan oleh biro hukum untuk provinsi, atau bagian hukum untuk kabupaten /kota. Pelatihan di biro hukum pun jarang dilakukan. Agung mengungkapkan, yang terjadi adalah lebih sering cut and paste. “Jadi dalam konteks itu, kebutuhan untuk membuat suatu legal draft yang memadai dalam benak Pemda ya tidak begitu penting, jelasnya.

 

Padahal, menurut Agung, jelas dibutuhkan legal drafter yang berkualitas. Karena, untuk membuat suatu pengaturan saja, perlu ditinjau apakah perlu diatur dengan Perda atau tidak. Karena, tidak setiap persolan perlu diatur dengan Peraturan perundang-undangan. Selain itu, perlu dikaji juga mengenai cost and benefit analysis rancangan Perda tersebut.

 

Agung juga menguraikan bahwa permasalahan terbesar dalam proses pembuatan Perda adalah kurang dilibatkannya stakeholders terkait. Menurutnya, pelibatan yang dilakukan Pemda, lebih sebatas pada justifikasi, dan sangat prosedural.

 

Artinya, Pemda memang mengundang pihak terkait, namun produk yang dihasilkan jauh dari masukan-masukan yang diberikan. Masalahnya, kata Agung, tidak ada satu mekanisme memadai untuk memberikan penjelasan rasional kepada pemberi masukan tentang mengapa saran atau kritik mereka tidak diterima. Hal ini berdampak pada produk Perda. Perda yang dibuat, menurut Agung, jauh dari harapan pemangku kepentingan terkait. Ketika Perda sudah disahkan, bukan saja ada penentangan dari masyarakat, tetapi juga sering dibatalkan Pemerintah Pusat atau Mahkamah Agung.

Tags:

Berita Terkait