Dianggap Rugikan Kesehatan, Pemerintah Naikkan Cukai Rokok
Berita

Dianggap Rugikan Kesehatan, Pemerintah Naikkan Cukai Rokok

Berlaku untuk tahun 2017, dengan kenaikan antara 10 persen hingga 13,4 persen tergantung jenisnya. Selain kenaikan cukai, juga terdapat kenaikan harga jual eceran.

Oleh:
Fathan Qorib
Bacaan 2 Menit
ilustrasi rokok. Foto: Sgp
ilustrasi rokok. Foto: Sgp
Pemerintah melalui Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengumumkan besaran tarif cukai rokok untuk tahun 2017. Kenaikan cukai ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 147/PMK/010/2016. Sebagaimana dilansir dari laman resmi setkab.go.id, tarif kenaikan cukai berkisar dari 10 persen hingga 13,4 persen tergantung jenisnya.

“Kenaikan tarif tertinggi adalah sebesar 13,46 % untuk jenis hasil tembakau Sigaret Putih Mesin (SPM) dan terendah adalah sebesar 0 % untuk hasil tembakau Sigaret Kretek Tangan (SKT) golongan IIIB, dengan kenaikan rata-rata tertimbang sebesar 10,54%. Selain kenaikan tarif, juga kenaikan harga jual eceran (HJE) dengan rata-rata sebesar 12,26%,” kata Sri Mulyani saat mengumumkan besarnya tarif cukai untuk tahun 2017 di Kantor Pusat Bea Cukai, Jumat (30/09).

Menurut Sri Mulyani, kenaikan tarif cukai rokok tersebut sudah dibicarakan dengan berbagai stakeholder, baik pihak yang peduli dengan kesehatan dan lapangan pekerjaan, petani tembakau, maupun asosiasi pengusaha rokok. Selain itu juga dilakukan pertemuandan diskusi dengan pemerintah daerah, yayasan, dan universitas.

“Dari pertemuan dan diskusi yang diselenggarakan, ditarik kesimpulan bahwa kenaikan cukai merupakan langkah yang harus ditempuh dalam rangka pengendalian konsumsi dan produksi,” jelas Sri Mulyani. (Baca Juga: Tarif Cukai Rokok 2016 Dinilai Kecil)

Ia menambahkan, bahwa kenaikan tersebut harus berimbang, sehingga tidak berdampak negatif terhadap ketersediaan lapangan pekerjaan dan kesempatan hidup bagi industri kecil. Atas dasar itu,dalam rangka pengamanan di bidang cukai, pemerintah pada tahun ini meningkatkan pengawasan khususnya terkait dengan peredaran mesin pembuat rokok. Hal ini sejalan dengan data intelijen dan hasil survei bahwa pelanggaran yang paling besar adalah rokok sigaret kretek mesin (SKM).

Untuk menjamin efektivitas dan juga menghasilkan outcome yang diharapkan, menurut Sri Mulyani, Ditjen Bea Cukai akan melakukan pendataan mesin pembuat rokok bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan instansi lainnya. Ia berharap, hal ini menghasilkan penerimaan yang baik di sektor cukai.

“Kami berharap hal ini dapat berkorelasi positif dengan penerimaan dari sektor cukai. Di tahun 2017, ditargetkan penerimaan cukai sebesar Rp149,8 triliun, yang merupakan 10,01% dari total penerimaan perpajakan. Walaupun ada sedikit penurunan, namun kontribusinya masih cukup signifikan,” kata Sri Mulyani.

Rugikan Kesehatan
Pemerintah, lanjut Sri Mulyani, menyadari bahwa rokok merugikan kesehatan masyarakat sehingga harus dibatasi. Hal ini sejalan dengan prinsip pengenaan cukai yaitu untuk mengendalikan konsumsi dan mengawasi peredaran. Selain aspek kesehatan, aspek lain dari rokok juga disoroti pemerintah, yaitu tenaga kerja, peredaran rokok ilegal, petani tembakau, dan penerimaan negara.

“Oleh karena itu, seluruh aspek tersebut perlu dipertimbangkan secara komprehensif dan berimbang dalam pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan harga dan cukai rokok,” ujarnya. (Baca Juga: MK Tolak Penguji Pajak Cukai Rokok)

Ia menyebutkan, untuk kepentingan kesehatan, Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam 10 tahun terakhir telah mengurangi jumlah pabrik rokok dari 4.669 pabrik menjadi 754 pabrik di tahun 2016. Tidak hanya itu, pertumbuhan produksi hasil tembakau pun telah dikendalikan, sehingga selama 10 tahun terakhir menunjukkan tren yang negatif yaitu sebesar -0,28%, dimana pada saat yang bersamaan jumlah penduduk Indonesia tumbuh sebesar 1,4%.

“Hal ini membuktikan bahwa secara riil pemerintah dapat menekan konsumsi rokok secara cukup signifikan,” tegas Sri Mulyani.

Berbicara soal penerimaan negara, Sri Mulyani mengungkapkan bahwa kontribusi cukai terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga kini berada pada kisaran 10-12%. Untuk tahun 2014 kontribusi cukai terhadap APBN adalah sebesar 12,29%, tahun 2015 sebesar 11,68%, dan tahun 2016 sebesar 11,72%.

“Walau berkontribusi cukup besar, namun angka dan peranannya menunjukkan penurunan yang berarti,” jelas Sri Mulyani.

Selain mengumumkan besaran tarif cukai untuk tahun 2017, Sri Mulyani yang didampingi Direktur Jenderal Bea Cukai Heru Pambudi juga mengumumkan hasil penindakan di bidang cukai. Penindakan yang dilaksanakan di Jakarta dan Klaten, Jawa Tengah tersebut menghasilkan tangkapan berupa rokok ilegal sejumlah 11.266.600 batang dan satu buah mesin pembuat rokok merek Shenzen yang berkapasitas produksi 1.500 batang rokok per menit.

“Hal yang menjadi atensi kita bersama ialah rokok ilegal sangat membahayakan kesehatan dan ketersediaan lapangan pekerjaan, karena mempengaruhi jumlah produksi rokok legal,” ungkap Sri Mulyani. (Baca Juga: Cukai Tinggi Dapat Batasi Konsumsi Rokok)

Ia menjelaskan bahwa pemerintah harus memberi ruang pengusaha tembakau lokal untuk menjual produknya pada industri rokok, sambil juga menyusun langkah-langkah agar petani tembakau dan pihak-pihak yang terkait beralih pada industri lain. Untuk itu, lanjut Sri Mulyani, pemerintah akan menyusun tata niaga impor tembakau. Selain itu, pemerintah juga merancang kebijakan terkait industri rokok agar dapat mengalihkan dari pasar domestik ke pasar internasional, melalui kebijakan pemberian fasilitas dalam bentuk kawasan berikat atau fasilitas lainnya.
Tags:

Berita Terkait