Teten mengemukakan sulitnya pemberantasan korusi dalam peluncuran program Bung Hatta Anti Corruption Award di Jakarta (21/05). Indonesia saat ini berada di peringkat ketiga sebagai juara korupsi di dunia. Peringkat Vietnam, Thailand dan negara lainnya sudah membaik, tetapi Indonesia tetap buruk. Mencari orang yang bersih di Indonesia bagaikan mencari jarum dalam jerami.
Di sektor pemerintahan, orang yang baik dan bersih biasanya tersisihkan dan karirnya tidak dapat maju, begitu pula dalam sektor bisnis. Hal itulah, menurut Teten, yang menimbulkan gagasan pemberian Bung Hatta Anti Corruption Watch. Penghargaan ini dimaksudkan untuk memberikan dukungan dan dorongan pada orang-orang yang bersih agar tidak menjadi frustasi.
Pemilihan nama Bung Hatta untuk penghargan itu karena Bung Hatta adalah figur pemimpin yang sederhana dan jujur, figur pemimpin yang kini dirindukan. Pemberian nama itu juga dimaksudkan sebagai penghormatan bagi sosok Bung Hatta.
Yang menarik, pengurus perkumpulan Bung Hatta Award --penyelenggara kegiatan itu bersama ICW -- bukanlah pengurus LSM antikorupsi. Mereka antara lain, Clara Joewono, wakil direktur CSIS; Atika Makarim, aktivis yayasan Lontar dan pendiri majalah Femina; serta Sharmi Ranti, arsitek dan desainer interior.
Begitu pula dewan juri, yang terdiri dari Antonius Sujata, Betty Alisjahbana, Faisal Basri, Harkristuti Harkrisnowo, Humayunbosha Somiadiredja, Komaruddin Hidayat, Nini K. Maramis, dan Tini Hadad.
Betty Alisjahbana adalah Presiden Direktur PT IBM Indonesia, sedang Humayunbosha menjabat sebagai Presiden Direktur PT Caltex Pasific Indonesia. Sementara Nini K. Maramis, istri dari Sarwono Kusumatmadja, pernah bekerja sebagai dosen di UNICEF.
Masuknya nama-nama tersebut sebagai juri, menurut Teten, dimaksudkan untuk memperluas komunitas anti korupsi. Apalagi mereka yang berasal dari kalangan bisnis tentu lebih bisa menilai sesama pelaku binis.