Dinilai Tak Maksimal, Aturan OSS Perlu Dievaluasi
Utama

Dinilai Tak Maksimal, Aturan OSS Perlu Dievaluasi

Masih terdapat kebingungan di tingkat daerah mengenai implementasi OSS. Perizinan daerah juga masih belum penuh terintegrasi OSS, sehingga prosesnya berjalan masing-masing.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Diskusi Media Evaluasi Setahun PP OSS. Foto: MJR
Diskusi Media Evaluasi Setahun PP OSS. Foto: MJR

Program one single submission (OSS)atau perizinan usaha berbasis elektronik telah setahun berjalan. Ternyata, program yang digadang-gadang sebagai jalan keluar kemudahan berinvestasi ini belum maksimal penerapannya bahkan justru dianggap menyulitkan pelaku usaha mendapatkan perizinan. Hal ini berdampak pada terhambatnya investasi di daerah.

 

Hal ini berdasarkan hasil Studi Evaluasi Setahun Pelaksanaan Sistem Pelayanan Terintegrasi OSS yang dilakukan Komisi Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Peneliti KPPOD Boedhi Rheza menjelaskan masih belum maksimalnya pemahaman pemerintah daerah mengenai OSS ini menjadi salah satu penyebabnya.

 

“Mereka (pemda) masih bingung ketika OSS di-launching ini siapa yang akan menerbitkan NIB (nomor induk berusaha) dan siapa yang bertanggung jawab jika ada masalah (kegiatan usaha),” ujar Boedhi di Jakarta, Rabu (11/9).

 

Perlu diketahui, studi evaluasi OSS ini dilakukan sejak Juli 2018 di 6 provinsi seperti DKI Jakarta, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan.

 

Boedhi menjelaskan studi tersebut menemukan permasalahan utama disebabkan ketidaksesuaian regulasi tingkat pusat dengan daerah. Menurutnya, pedoman Norma, Standar Prosedur dan Kriteria (NSPK) yang menjadi petunjuk teknis pelayanan perizinan justru tidak konkret menerjemahkan Peraturan Pemerintah (PP) No.24 Tahun 2018 tentang Sistem Pelayanan Pelayanan Perizinan Terintegrasi Berbasis Elektronik (OSS).

 

“NSPK tidak lengkap implikasinya pada variasi layanan. Daerah masih menggunakan peraturan yang tidak up to date,” jelas Boedhi.

 

Salah satu contoh kasus persoalan NSPK ini dapat terlihat saat pelaku usaha ingin mendapatkan izin usaha industri (IUI). Pelaku usaha harus mendaftarkan lagi ke aplikasi Sistem Informasi Industri Nasional (SIINAS) milik Kementerian Perindustrian. Padahal, aturan OSS menyatakan tidak memerlukan persyaratan tersebut. Sehingga, terjadi berbagai macam variasi pada SOP pelayanan izin daerah yang justru membingungkan pemerintah daerah dan pelaku usaha.

 

Selain NSPK, permasalahan lain OSS juga terlihat dari tidak selarasnya PP 24/2018 dengan UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda. Disharmonis ini menyangkut kewenangan pemberian izin yang sebelumnya berada di tangan kepala daerah menjadi lembaga OSS. Sehingga, fungsi lembaga perizinan yang tadinya didelegasikan UU Penanaman Modal kepada PTSP sekarang bergeser ke lembaga OSS.

 

Studi ini juga menemukan permasalahan pada sistem OSS tersebut. Boedhi menjelaskan kelemahan sistem OSS sehubungan dengan fitur penentuan lokasi usaha atau location tagging yang tidak sinkron dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Selain itu, belum tersedianya Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) di sebagian besar daerah menyebabkan pendirian lokasi usaha tidak sesuai dengan rencana pemerintah daerah.

 

“Hal ini dapat berimplikasi pada pendirian lokasi usaha yang tidak sesuai dengan perencanaan daerah seperti yang ditetapkan dalam dokumen RTRW atau tidak berbasis lokasi lantaran tidak tersedianya RDRT,” tambah Boedhi.

 

Pada tingkat pusat, sistem OSS juga belum terintegrasi penuh dengan sistem perizinan Kementerian dan Lembaga. Selain itu, daerah juga memiliki sistem perizinan mandiri berbasis aplikasi atau Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang belum terintegrasi dengan OSS. Bahkan, DKI Jakarta baru mengintegrasikan JakEVO, sistem perizinan daerah, dan OSS hanya pada layanan perizinan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP).

 

“Belum semua daerah menerbitkan izin usaha dan izin komersial/operasional melalui OSS. Keseragaman masih pada NIB saja. Persoalan integrasi ini menjadi bahan evaluasi kepada pemerintah untuk segera menyelesaikan proses perizinan melalui OSS,” jelas Boedhi.

 

Atas kondisi tersebut, Boedhi meminta pemerintah pusat segera mengevaluasi aturan OSS dan NSPK sektoral. Hal ini dilakukan agar memberi kepastian dan menghindari tumpang tindih perizinan. Selain itu, pemerintah juga harus segera memperbaiki sistem OSS dan mengintegrasikannya dengan perizinan tingkat daerah.

 

Tiga Aspek Permasalahan OSS

Hukumonline.com

Sumber: KPPOD

 

Kepala Seksi (Kasi) Dukungan Teknis Sistem Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Fitriana Aghita Pratama mengakui memang masih terdapat persoalan implementasi OSS khususnya di tingkat daerah. Menurutnya, saat ini masih dalam proses integrasi antara OSS dengan sistem perizinan daerah. Dia berharap setelah proses integrasi tersebut rampung maka seluruh perizinan dilakukan melalui OSS.

 

(Baca: Jika Tak Direvisi, Koalisi Bakal ‘Gugat’ PP OSS ke MA)

 

Ghita menambahkan BKPM sedang merampungkan sistem OSS Versi 1.0 menjadi OSS Versi 1.1. Dengan peningkatan sistem tersebut diharapkan dapat menyelesaikan berbagai persoalan teknis OSS. Menurutnya, OSS Versi 1.1 nantinya terintegrasi dengan sistem perizinan daerah. Rancangan  peraturan BKPM ini juga telah dievaluasi melalui tahap konsultasi publik yang melibatkan notaris maupun pengacara.

 

Berharap Dicabut

Terpisah, Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Banten Al Muktabar meminta pemerintah pusat mencabut aturan yang menghambat investasi untuk mendukung langkah percepatan investasi di daerah. Dia mencontohkan, Banten memiliki kawasan industri yang luar biasa. Tapi dalam pelaksanaan percepatan kemudahan berusaha yang dapat dirasakan langsung masyarakat, itu masih harus ditingkatkan lagi.

 

Ia menjelaskan, kalau prinsip organisasional terpadu satu pintu tapi di ruangan satu pintu itu masih banyak meja, maka belum bisa memaknai kemudahan. "Artinya kalau mejanya banyak pasti tidak mudah. Itu filosofi sederhana, mau seefektif apapun kita bekerja, kalau polanya masih seperti itu tetap akan sulit mencapai hasil yang diharapkan," kata Al Muktabar seperti dilansir Antara, saat Rapat Koordinasi Satgas Percepatan Pelaksanaan Berusaha Provinsi dan Kabupaten/Kota di Kantor Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Banten di Serang, Rabu (11/9).

 

Ia berharap beberapa hal teknis perlu didiskusikan dan hal makro dapat disepakati bersama. Menurutnya, hal ini harus menjadi langkah serius pemerintah untuk mempermudah berusaha secara berjenjang mulai dari presiden, menteri, dan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, termasuk diantaranya persoalan bisnis.

 

Oleh karenanya, kata dia, kabupaten/ kota dan provinsi agar dapat menginventarisasi izin-izin berusaha di sektor perdagangan dan lainnya apakah bisa didelegasikan ke Pemda. "Kemudian bila tidak ada kaitannya lagi, ya segera dicabut aturannya," kata Al Muktabar menegaskan.

 

Kepala DPMPTSP Provinsi Banten Wahyu Wardhana menambahkan, berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik, jenis perizinan dikerucutkan tingkat pemerintah pusat dan pemerintah provinsi melaksanakan perizinan sektoral kementerian.

 

Sementara, pemerintah kabupaten/kota ada yang mengelola perizinan sektoral dan ada yang membuat sendiri seperti retribusi tempat-tempat tertentu. "Jadi sekarang jenis perizinan angkanya masih bergeser-geser karena ada penyempuranaan NSPK di tingkat pusat. Dengan adanya PP 24 itu, pemohon nomor induk berusaha (NIB) sudah langsung bisa dikeluarkan, jadi izin-izin itu langsung terbit sehari. Tapi ada yang izin memerlukan komitmen dan ada yang tidak. Artinya, sebelum ada PP 24 tahun 2018 itu persyaratan dulu baru izin keluar. Sekarang izin keluar baru persyaratan dipenuhi," kata Wahyu.

 

Untuk sistem perizinan, kata Wahyu, Pemprov Banten sudah melakukan secara online dengan aplikasi Sipeka, termasuk pemenuhan persyaratan juga diunggah melalui aplikasi tersebut. Dan komunikasinya juga melalui apliaksinya. Di sana ada kolom chating untuk komunikasi kami ketika persyaratan yang diunggah ada yang kurang atau keliru, tandas Wahyu. (ANT) 

 

Tags:

Berita Terkait