Diusulkan Ketentuan Outsourcing Diatur dalam UU Khusus
Terbaru

Diusulkan Ketentuan Outsourcing Diatur dalam UU Khusus

Angkatan kerja muda dinilai lebih menggemari format kerja fleksibel.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Praktik alih daya atau outsourcing merupakan salah satu isu ketenagakerjaan yang ramai diperbincangkan publik. Kalangan pengusaha dan pekerja/buruh memiliki pandangan yang berbeda tentang alih daya. Ketua Umum DPP Himpunan Konsultan Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (HKHKI), Ike Farida mengatakan penting bagi pemerintah untuk memberikan pendampingan dan peningkatan SDM. Terutama untuk meningkatkan soft-skill karena teknologi terus berkembang.

Perkembangan teknologi yang pesat mendorong tingkat permintaan SDM yang melek digital semakin tinggi. Selaras itu angkatan kerja muda lebih menyukai format kerja yang lebih fleksibel. “Penting bagi pemerintah untuk segera menyiapkan peraturan tersendiri yang mengatur hak-hak dan perlindungan pekerja alih daya,” kata Ike dalam keterangan tertulis, Kamis (15/7/2022).

HKHKI melihat dinamika yang berkembang di masyarakat seperti pandemi, self-healing, fleksibilitas, tren media sosial mempengaruhi perubahan lingkungan sosial secara signifikan salah satunya pola kerja. Pola kerja yang selama ini dilakukan di kantor, tapi sejak pandemi Covid-19 berubah menjadi lebih fleksibel dengan skema work from home (WFH) dan work from anywhere (WFA).

Tujuan pola kerja fleksibel itu untuk mengurangi penyebaran penyakit dengan menekan mobilitas masyarakat. Mengacu data statistik HKHKI mencatat sebaran angkatan kerja beberapa tahun terakhir didominasi generasi muda yang cenderung menyukai sistem kerja fleksibel. Dampaknya, tren pekerja/buruh alih daya mengalami peningkatan.

Direktur Hubungan Kerja dan Pengupahan Kementerian Ketenagakerjaan, Dinar Titus Jogaswitani, menjelaskan upaya pemerintah setelah putusan MK terkait uji materi terhadap UU No.11 Tahun 2020. Salah satu tindak lanjut yang dilakukan yakni optimalisasi dan sosialisasi UU No.11 Tahun 2020 kepada semua pemangku kepentingan.

“Sosialisasi itu diantaranya meliputi pemda, pengusaha, serikat buruh, akademisi, dan pihak terkait lain,” ujarnya.

Ketua Umum Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (ABADI), Mira Sonia, menyebut kebijakan dan perlindungan yang diberikan bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang alih daya. “Selaras dengan perkembangan teknologi, digitalisasi, dan otomatisasi, maka format alih daya menjadi sangat penting untuk diperhatikan,” kata dia.

Ketua Umum KSPSI, Jumhur Hidayat, menegaskan kalangan pekerja/buruh pada intinya menolak sistem kerja alih daya/outsourcing. “Karena dasar hukumnya kurang jelas dan dianggap kurang memperhatikan kesejahteraan para pekerja,” tegasnya.

Dalam diskusi Pakar Nasional 6.0 yang diselenggarakan HKHKI bertema Format Kerja Era Digitalisasi & Tren Alih Daya Pasca PP No. 35/2021, Rabu (13/7/2022) menyimpulkan sedikitnya 3 hal. Pertama, penting bagi Indonesia untuk mengejar ketinggalan dalam pengembangan SDM, terutama terkait dengan soft-skill dan bidang IT, karena SDM yang memiliki literasi digital tinggi sangat diperlukan untuk meningkatkan daya saing.

Kedua, format kerja baru akan terus berkembang terutama dengan maraknya teknologi dan digitalisasi. Hal ini sangat diminati oleh Angkatan kerja saat ini yang didominasi oleh generasi muda (Millennial & Gen Z). Sayangnya aturan yang ada saat ini belum mencakup pekerja-pekerja informal.

Ketiga, Indonesia harus segera membuat dan mempersiapkan peraturan yang secara khusus mengatur alih daya tanpa harus menunggu visi Indonesia Emas 2045, karena kebutuhan terkait perkembangan teknologi akan terus meningkat tanpa harus menunggu tahun 2045.

Tags:

Berita Terkait