Edaran Menaker Terkait Perlindungan Pekerja Akibat Corona dan Kritikannya
Berita

Edaran Menaker Terkait Perlindungan Pekerja Akibat Corona dan Kritikannya

Pemerintah nilai SE ini untuk melindungi buruh dan kelangsungan berusaha. Di sisi lain, masyarakat sipil menilai edaran ini bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Pemerintah terus berupaya menangani pencegahan penyebaran virus Corona (Covid-19) yang makin meluas di Indonesia. Upaya yang dilakukan antara lain menerbitkan sejumlah regulasi dan edaran, salah satunya Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan No.M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19. Edaran yang diteken 17 Maret 2020 ini ditujukan kepada seluruh Gubernur di Indonesia.

 

Penanganan penyebaran Covid-19 di lingkungan kerja menjadi perhatian pemerintah setelah sebelumnya pemerintah pusat dan daerah menerbitkan edaran yang intinya mengimbau masyarakat untuk menghindari kerumunan dan kegiatan berkumpul serta bekerja dari rumah (work from home). Guna memperkuat upaya tersebut Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauzia, mengimbau Gubernur melaksanakan perlindungan pengupahan bagi pekerja/buruh terkait pandemi Covid-19 sekaligus pencegahan penyebaran dan penanganan Covid-19 di lingkungan kerja.

 

"Bagi pekerja/buruh yang dikategorikan sebagai Orang Dalam Pemantauan (ODP) terkait Covid-19 berdasarkan keterangan dokter sehingga tidak masuk kerja paling lama 14 hari atau sesuai standar Kementerian Kesehatan, maka upahnya dibayarkan secara penuh," kata Ida dalam keterangan pers, Selasa (17/3).

 

Untuk buruh yang dikategorikan suspect Covid-19 dan dikarantina menurut keterangan dokter, Ida menyebut upah buruh tersebut dibayar penuh selama menjalani masa karantina/isolasi. Bagi perusahaan yang melakukan pembatasan kegiatan usaha akibat kebijakan pemerintah di daerah masing-masing guna pencegahan dan penanggulangan Covid-19 sehingga menyebabkan sebagian atau seluruh pekerja/buruhnya tidak masuk kerja, dengan mempertimbangkan kelangsungan usaha maka perubahan besaran dan cara pembayaran upah pekerja/buruh dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh.

 

Ketentuan mengenai kesepakatan upah sebagai dampak penanganan Covid-19 ini diatur dalam poin II angka 4 SE Menaker. “Berkaitan dengan hal-hal tersebut, para Gubernur diminta untuk melaksanakan dan menyampaikan surat edaran ini kepada Bupati/Walikota serta pemangku kepentingan terkait di wilayahnya masing-masing,” kata Ida.

 

Ida mengatakan, edaran yang diterbitkan itu mempertimbangkan peningkatan penyebaran Covid-19 dan pernyataan resmi WHO yang menyatakan Covid-19 sebagai pandemi global. "Maka  perlu dilakukan langkah-langkah untuk melindungi pekerja/buruh dan kelangsungan usaha," sebutnya.

 

Menurut Ida, ada beberapa upaya yang bisa dilakukan Gubernur untuk menangani penyebaran Covid-19 antara lain melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan keselamatan dan Kesehatan kerja (K3), menyebarkan informasi kepada semua jajaran organisasi dan pihak terkait yang berada di wilayahnya. Mendata dan melaporkan setiap Kasus ke instansi terkait dan mengimbau pimpinan perusahaan untuk melakukan antisipasi penyebaran Covid-19 dan melakukan tindakan pencegahan.

 

“Kita juga mendorong setiap pimpinan perusahaan untuk segera membuat rencana kesiapsiagaan dan menghadapi Covid-19 dengan tujuan memperkecil risiko penularan di tempat kerja dan menjaga kelangsungan usaha,” papar Ida.

 

Baca:

 

Cacat Hukum

Pengacara publik LBH Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora, mendesak pemerintah serius melindungi buruh di tengah pandemik Covid-19. SE Menaker ini layak dicabut karena bertentangan dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan merupakan bentuk lepas tangan pemerintah dalam melindungi buruh/pekerja dalam hal keselamatan kerja dan pengupahan.

 

Nelson menyoroti sedikitnya 3 hal terkait edaran ini. Pertama, meskipun sudah mencantumkan hak-hak buruh apabila terinfeksi atau diduga terinfeksi Covid-19, tapi cacat hukum karena SE tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Secara hukum SE sifatnya hanya mengikat internal pemerintah saja sehingga tidak ada kewajiban bagi pengusaha maupun perusahaan untuk mengikuti SE tersebut.

 

"Juga sangat tidak masuk akal apabila pengawasan diserahkan kepada Gubernur karena selama ini Gubernur beserta dinas di bawahnya juga terkenal sangat lembek dan “toleran” terhadap pengusaha dalam hal pelanggaran hak buruh/pekerja," kata Nelson ketika dikonfirmasi, Sabtu (21/3).

 

Kedua, Nelson melihat SE itu tidak mewajibkan pengusaha untuk menyediakan kelengkapan alat K3 untuk pencegahan Covid-19 seperti masker, sarana cuci tangan, maupun sarana pencegahan penularan Covid-19 lainnya. Akibatnya, buruh harus melengkapi alat K3 secara mandiri, padahal Pasal 14 huruf c UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja menjelaskan alat-alat kelengkapan Keselamatan tersebut merupakan tanggung jawab dari perusahaan.

 

Selain itu pemeriksaan kesehatan di lingkungan perusahaan juga harus dilakukan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per.02/Men/1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja dalam Penyelenggaraan Keselamatan Kerja.

 

Ketiga, dalam poin II angka 4 SE mengatur apabila perusahaan melakukan pembatasan kegiatan usaha dan menyebabkan buruh/pekerja tidak masuk kerja maka perubahan besaran maupun cara pembayaran upah dilakukan dengan kesepakatan pengusaha dengan buruh/pekerja.

 

Menurut Nelson imbauan itu bertentangan dengan mekanisme pengupahan sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Dia memberi contoh dalam mekanisme penangguhan upah minimum ada mekanisme penangguhan bagi pengusaha yang tidak mampu membayar sesuai ketentuan. Pengusaha itu harus membuktikan bahwa tidak sanggup melalui laporan keuangan dan diajukan untuk disetujui Gubernur dengan pertimbangan Dewan Pengupahan.

 

Mekanisme penangguhan upah minimum diatur dalam beberapa aturan seperti pasal 90 UU Ketenagakerjaan, Kepmenakertrans No.KEP-231/MEN/2003 Tahun 2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum dan Pergub DKI Jakarta No.42 Tahun 2007 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum Provinsi.

 

Atas dasar itu LBH Jakarta menuntut dua hal. Pertama, pemerintah perlu menerbitkan regulasi yang tegas dan mengikat untuk mencegah penularan Covid-19 sekaligus melindungi buruh. Kedua, pemerintah harus serius dalam melakukan pengawasan dan memberikan sanksi tegas kepada pengusaha yang melanggar aturan K3 dan pengupahan.

Tags:

Berita Terkait