Masa sih? Bisa jadi benar. Sebab, berdasarkan penelusuran hukumonline, pada 25 Juli lalu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeluarkan teguran alias aanmaning kepada Securindo. Dalam penetapan yang ditandatangani Ketua PN Jakarta Pusat Cicut Sutiarso itu, tergugat Securindo diminta datang menghadap pada Selasa 31 Juli mendatang. Supaya dalam tenggang waktu 8 (delapan) hari terhitung sejak hari dan tanggal teguran/peringatan yang diberikan kepadanya untuk memenuhi kewajibannya kepada pemohon eksekusi, begitu antara lain bunyi surat teguran.
Ironisnya. Biaya yang dikeluarkan untuk mengurus surat aanmaning itu jauh dari duit yang mau dieksekusi. Bayar meterai saja sudah Rp6.000. Belum lagi biaya redaksi sebesar Rp3000, dan biaya pencatatan sebesar Rp10.000. Total yang harus dibayar adalah Rp19.000. Belum lagi dihitung biaya transport yang harus dikeluarkan kedua belah pihak bolak balik ke PN Jakarta Pusat.
Kebiasaan buruk
Sosiolog hukum Prof. Soetandyo Wignyosoebroto mengakui feomena seseorang tidak menghormati putusan pengadilan memang sering terjadi. Itu bagian dari mengulur waktu, ujarnya.
Terkait kasus di atas, Soetandyo hanya melihatnya sebagai bentuk penolakan dan pembantahan saja. Mungkin ada tanda-tanda semacam pengingkaran terhadap putusan, tandasnya.
Namun, Soetandyo menolak bila fenomena tidak menjalankan putusan pengadilan dianggap sebagai budaya hukum yang ada di Indonesia. Terlalu jauh bila dibilang sebagai suatu budaya. Itu hanya suatu kebiasaan buruk saja, ujarnya.
Untuk mengubah kebiasaan yang buruk itu, Soetandyo mengakui memang agak sulit. Tetapi ia lebih setuju pendekatan hukum tetap digunakan. Ya memang harus ditegur, ujarnya.