Eksklusif!! Wawancara Pasca Putusan dengan 2 Orang Pengacara Jessica
Utama

Eksklusif!! Wawancara Pasca Putusan dengan 2 Orang Pengacara Jessica

Ia menjawab rumor tentang penanganan perkara Jessica secara probono. Tegas menempuh upaya hukum lanjutan.

Oleh:
MUHAMMAD YASIN
Bacaan 2 Menit
Otto Hasibuan dan Yudi Wibowo saat membela Jessica di PN Jakarta Pusat. Foto: RES
Otto Hasibuan dan Yudi Wibowo saat membela Jessica di PN Jakarta Pusat. Foto: RES
Persidangan kasus Jessica Kumala Wongso termasuk salah satu perkara yang menarik perhatian publik sepanjang 2016. Majelis hakim menghukum terdakwa kasus pembunuhan berencana itu 20 tahun penjara. Jessica dan tim kuasa hukumnya langsung mengajukan banding. Salinan resmi putusan sudah diterima tim pengacara pada Jum’at (04/11) lalu.

Hukumonlineberkesempatan mewawancarai dua orang pengacara yang selama ini mendampingi Jessica di persidangan. Otto Hasibuan dan Yudi Wibowo Sukinto, kedua pengacara dimaksud bersedia berbagi informasi tentang bagaimana mereka menghadapi sidang berjam-jam sampai 32 kali sidang, sikap mereka atas putusan dan rencana banding. (Baca juga: Pengacara Jessica Siapkan Memori Banding).

Otto dan Yudi berada di Surabaya akhir pekan lalu, menghadiri sebuah seminar yang dilaksanakan DPN Peradi dan DPC Peradi Surabaya. Otto seolah menjadi ‘bintang’ di acara ini. Puluhan advokat minta berfoto bersama dengan mantan Ketua Umum DPN Peradi itu. Ia melayani permintaan itu dengan baik.

Di sela-sela persiapan kembali ke Jakarta, Otto dan Yudi berbagi cerita kepada hukumonline pada kesempatan berbeda. Jika dirangkum, beginilah ringkasan jawaban mereka:

Apakah ini kasus pidana terberat yang pernah Anda tangani?
Otto: Kalau soal berat sih tidak ya. Karena banyak kasus berat yang pernah saya tangani. Kasus ini lebih pada menyita waktunya. Kalau dari segi tantangan, banyak juga kasus lain yang banyak tantangannya. Dulu ketika menangani perkara Johny Sembiring di Medan, saya sampai diancam. Pistol sudah ditodongkan ke kening kita. Kalau ini kan tidak. Tetapi memang kita tahu inside story, apa yang terjadi sebenarnya. Ini seperti kata orang, nggak dilihat mata tapi dilihat hati. (Otto mengatakan semangatlah yang membuatnya terus fit dalam persidangan yang menyita waktu ini. “Betapapun you fit kalau dirimu nggak semangat, pasti loyo. Tapi kalau semangat walaupun badan kita sudah capek, itu bisa di-tune up,” ujarnya.).

Yudi: Ini pengalaman paling berat perkara pidana yang pernah saya tangani. Berat bukan karena ilmunya tetapi sidang fisiknya sampai 32 kali. Dari pagi sampai malam, bisa sidang 12 jam, minimal 10 jam lamanya. Lalu, hakim PN Jakarta Pusat memberi putusan yang memprihatinkan kepada seluruh rakyat Indonesia. Putusannya tidak mencerminkan keadilan dan tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya.

Berarti perkara ini banyak sekali menyita waktu Anda?
Otto: Perkara ini berat dalam pengertian menyita waktu. Saya harus mengatakan ini yak arena selama 4 bulan ini padat sekali kan. Jumlah sidangnya 32 kali, dan durasinya sangat panjang, umumnya sampai malam. Itu kan sangat menyita waktu. Kebetulan, jaksa kan membawa saksi dan ahli yang banyak. Otomatis kami harus mengimbanginya dengan membawa saksi dan ahli yang banyak juga. Kalau jaksa kan sudah prepare dari awal karena saksi dan ahlinya sudah ada sejak penyidikan. Kalau kami kan pas persidangan. Banyak orang menyebut sidang Jessica ini perang ahli. Sebenarnya tidak. Kenyataannya, perang ahli itu tidak ada. Hakim tidak mempertimbangkan keterangan ahli yang hami hadirkan.

Yudi: Sidangnya sering sampai tengah malam. Bisa tidak tidur dua hari. Selesai sidang kita masih sering kumpul di suatu tempat (membahas proses persidangan).

Apakah pernah mengalami kejenuhan mengingat persidangan berlangsung sampai 32 kali?
Otto: Kalau jenuh sih tidak. Justru enjoy. Karena ini pekerjaan saya 20 tahun yang lalu ketika masih muda. Baru kemudian saya mengerjakan pekerjaan bisnis, organisasi (advokat), lalu muncul kasus seperti ini lagi. Semacam nostalgia (menangani perkara) ini.

Apakah keluarga Anda protes karena waktu Anda banyak tersita untuk kasus Jessica?
Yudi: Oh, tidak. Kalau lawyer sepenuhnya harus sungguh-sungguh begitu.

Pengacara begitu emosional ketika hakim menyinggung profesi advokat dalam pertimbangan. Mengapa?
Otto: Karena saya tidak menyangka hakim mempertimbangkan buruk seperti itu. Karena semestinya majelis tidak perlu mengimentari profesi. Dia bicara fakta saja. Sangat menyedihkan karena hakim menyatakan bahwa tidak selayaknya advokat itu lagi mempersoalkan terdakwa itu pelaku atau tidak. Loh, kalau itu namanya presumption of guilty, bukan presumption of innocence lagi. Itu yang menurut saya tidak tepat. Hakim itu harus menganut prinsip presumption of innocence. Itu sudah diatur dalam UU Mahkamah Agung, KUHAP, dan Kode Etik Hakim.

Yudi: Seharusnya tidak perlulah profesi advokat dipertimbangkan. Itu kan bukan bagian dari fakta hukum. Terus, orang menangis dipertimbangkan, dan orang pakai mata dipertimbangkan. Kok nggak semua saja dipertimbangkan. Lalu, tidak ada unsur yang meringankan. Orang hadir terus di persidangan itu kan meringankan. Kalau menurut saya pribadi, argumentasi hakim sesat. Argumentum ad baculum namanya. Hakim mengalami kesesatan berpikir, berargumentasi, dalam membuat putusan. Tetapi, bagaimanapun, putusan hakim itu harus dihormati.  Ada asas res judicata pro veritate habetur yang menyatakan putusan hakim masih dianggap berlaku sebelum ada putusan hakim yang membatalkannya. Makanya, kita tetap menghormati putusan hakim.

Tim kuasa hukum kan langsung menyatakan banding..
Yudi: Kita sudah menyatakan banding. Surat pernyataan bandingnya sudah saya tandatangani. Kini tim kuasa hukum menyusun memori banding. Hari ini (Jum’at, 04/11) kita menerima salinan resmi putusan pengadilan. Beberapa hari ke depan kita akan menyusun memori banding.

Apakah Anda merasakan ruang perdebatan akademik di persidangan Jessica?
Otto:Sebenarnya iya. Tapi sayangnya, hakimnya tidak memutuskan secara akademik pula. Di situlah sedihnya. Mestinya kalau dia mau menolak ahli kita, boleh karena itu hak dia. Tetapi dia harus menjelaskan mengapa dia menolak, kasihlah alasannya mengapa. Itu baru bagus, kalau putusan itu mau dianggap putusan yang arif dan bijaksana. (Baca juga: KY Minta Masyarakat Hargai Vonis Jessica).

Yudi: Kita telah memberikan contoh yang bagus bagaimana caranya bersidang dan cara berargumentasi hukum. Tidak ngeyel dalam arti bukan berdasarkan pendapat saya sendiri, melainkan pendapat ahli. Ternyata pendapat ahli kami tidak satu pun dipertimbangkan. Padahal ahli yang kami datangkan atas persetujuan majelis hakim. Hakim tanda tangan dan paraf, ada buktinya. Saya kan mengajukan permohonan, dan hakim membubuhkan paraf (tanda setuju ahli yang kami hadirkan). Dalam memori banding nanti kami sertakan itu.

Anda terkesan bersemangat menangani kasus ini. Benarkah Anda menangani perkara ini secara probono?
Otto: Justru karena probono makanya saya bersemangat. Kalau (perkara yang ada) uang kan sudah biasa kita terima. Ini justru probono. Artinya, ketika kita memutuskan probono, di situlah kita semangat. Sebab, ketika kita memutuskan probono, di situlah kita tidak boleh main-main hanya karena perkaranya probono. Perlakuan kita harus sama antara probono dengan perkara yang menghasilkan uang. Tidak boleh lebih rendah yang probono. Probono itu tetap harus first class services. Itu hukumnya. (Baca juga: Ini Tantangan Probono Bagi Lawfirm Korporasi).

Anda akan disibukkan membuat memori banding?
Yudi: Kita tidak perlu panjang-panjang, 20-25 lembar juga cukup. Tidak perlu sampai ribuan halaman. Kemarin pledoi ribuan halaman itu kan transkrip, fakta hukum di persidangan. Pasal 197 KUHAP menyatakan seseorang bisa dijatuhi hukuman berdasarkan fakta hukum di persidangan. Kalau fakta hukum tidak ditulis, bagaimana mereka menyatakan seseorang bersalah?

Untuk perkara banding, masih dengan komposisi penasihat hukum yang sama?
Otto: Ya.
Yudi:Masih tetap.
Tags:

Berita Terkait