Empat Catatan Kritis atas Perpres Gaji Pejabat BPIP
Utama

Empat Catatan Kritis atas Perpres Gaji Pejabat BPIP

Pemerintah dinilai terkesan boros anggaran di saat belum stabilnya kondisi perekonomian negara. Namun, sejak berdiri pada Juni 2017 hingga saat ini BPIP belum mendapat gaji, tunjangan.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Kedua, dari sisi etika, sejatinya BPIP bukanlah BUMN, bukan pula bank sentral yang dapat menghasilkan laba (keuntungan). Karenanya, tidaklah pantas/etis gaji pejabatnya dipatok ratusan juta rupiah. Menurut Fadli, BPIP merupakan lembaga nonstruktural yang kerjanya ad hoc. Dia membandingkan dengan gaji seorang presiden, wakil presiden, menteri dan pimpinan lembaga tinggi negara, gaji yang didapat tidak sampai di angka ratusan juta. Padahal tanggung jawabnya jauh lebih besar eksekutif ketimbang dewan pengarah BPIP.

 

Ketiga, dari aspek anggaran dan reformasi birokrasi. Menurutnya Presiden Jokowi sering mengutarakan pentingnya efisiensi anggaran dan reformasi birokrasi. Makanya, dalam kurun waktu 2014-2017, setidaknya terdapat 23 lembaga non struktural mulai badan maupun komisi yang dibubarkan pemerintah. Sebut saja, Dewan Buku Nasional, Komisi Hukum Nasional, Badan Benih Nasional, hingga Badan Pengendalian Bimbingan Massal (Bimas).

 

“Tapi, pada saat bersamaan, Presiden justru malah terus menambah lembaga non-struktural baru,” katanya.

 

Politisi Partai Gerindra itu mencatat sepanjang Jokowi berkuasa, setidaknya terdapat 9 lembaga non struktural baru yang dibentuknya. Diantaranya, Kantor Staf Kepresidenan (KSP), Komite Ekonomi Industri Nasional (KEIN), hingga BPIP. Menurutnya jumlah lembaga yang dibentuk memang hanyalah 9, namun publik dapat menghitung betapa mahalnya biaya operasional lembaga non struktural tersebut dengan standar gaji yang sedemikian tinggi.

 

Keempat, dari aspek tata lembaga. Menurutnya kecenderungan pemerintahan Jokowi membuat lembaga baru setingkat kementerian mestinya dihentikan. Sebab, dapat terjadi tumpang tindih dan menimbulkan bentrokan dengan fungsi lembaga-lembaga yang sudah ada. Menurutnya, bila terdapat kelonggaran anggaran, ada baiknya Fadli menyarankan agar pemerintah meningkatkan kesejahteraan para pegawai honorer di lingkungan pemerintahan.

 

“Jadi, menurut saya, Perpres No. 42/2018 seharusnya ditinjau kembali. Jangan sampai cara pemerintah mendesain kelembagaan BPIP, menyusun personalia, dan kini mengatur gaji pejabatnya, justru melahirkan skeptisme dan sinisme publik. Itu kontra produktif terhadap misi pembinaan ideologi dan Pancasila itu sendiri,” katanya.

 

Terpisah, Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi punya pandangan serupa dengan Fadli. Menurutnya, kondisi perekonomian negara yang belum stabil, pemerintah semestinya mengontrol diri meski sekedar untuk menggaji personil lembaga tertentu dengan jumlah besar.

Tags:

Berita Terkait