Era Ekonomi Digital dan Tantangan Menghadirkan Barang Bukti Digital di Pengadilan
Utama

Era Ekonomi Digital dan Tantangan Menghadirkan Barang Bukti Digital di Pengadilan

Barang bukti digital sangat ‘ringkih’ dibandingkan bukti fisik. Perlu standar penanganan bukti digital agar nilai pembuktiannya sempurna.

Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit

 

Dalam praktiknya, juga masih sering terjadi kekeliruan sewaktu menghadirkan suatu bukti elektronik. Dalam persidangan, biasanya para pihak hanya membawa bukti elektronik berupa hasil capture (gambar) misalnya dari sebuah laman seperti Facebook atau E-mail yang berisikan informasi yang diduga melanggar tindak pidana. Sementara, Facebook atau E-mail yang dimaksud biasanya sudah tidak bisa diakses lantaran telah tidak aktif kembali (deactive).

 

Padahal, kunci utama dari sebuah bukti elektronik terdapat pada frasa ‘hasil cetakannya’. Pasal 6 UU Nomor 11 Tahun 2008 tegas menyebutkan bahwa setiap informasi/dokumen elektronik baru dianggap sah sebagai alat bukti sepanjang dapat diakes, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.

 

Kekeliruan kedua, baik pengacara maupun penuntut umum biasanya menghadirkan bukti elektronik dengan membuka informasi atau dokumen elektronik yang asli secara langsung dengan membawa perangkat elektronik ke muka pengadilan. Padahal, kaidah ilmu forensik digital tegas melarang bukti asli elektronik dibuka dalam suatu persidangan. 

 

Menurut SOP ilmu forensik, bukti elektronik baru bisa ditampilkan di muka pengadilan setelah data asli tersebut dilakukan kloning. Hasil kloning data yang telah dianalisa itulah yang disampaikan oleh ahli digital forensik di muka pengadilan. Data asli tidak dapat ditampilkan lantaran ketika perangkat elektronik itu dinyalakan, maka Log (catatan akses ke perangkat) akan berubah dimana hal itu berpengaruh terhadap nilai pembutian yang menjadi rendah. Namun, tidak ada kewajiban menghadirkan ahli digital forensik dalam setiap kasus yang berkaitan dengan informasi atau dokumen elektronik.

 

Untuk bisa memastikan bahwa suatu informasi atau dokumen elektronik dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan sebagaimana Pasal 6 UU Nomor 11 Tahun 2008, dapat dilakukan dengan menguji secara ilmiah bukti elektronik tersebut. Keberadaan ahli digital forensik dalam pembuktian suatu kasus yang berkaitan dengan bukti elektronik, mestinya dinilai sebagai sesuatu yang meningkatkan nilai pembuktian dari suatu alat bukti mengingat kompetensi dan kewenangan serta dukungan perangkat yang memadai dari ahli digital forensik.

 

Rawan Jadi Sarana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme

Era ekonomi digital pun menjadi perhatian Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) karena berpotensi menjadi sarana penyalahgunaan untuk Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) maupun pendanaan pidana terorisme.Wakil Kepala PPATK, Dian Ediana Rae mengatakan bahwa sejak tahun 2017 pihaknya telah membentuk divisi (desk) fintech dan cybercrime yang fungsinya melakukan pendalaman dan pengayaan pengetahuan sekaligus berkoordinasi dengan aparat penegak hukum lainnya.

 

“Pertumbuhan fintech yang begitu cepat perlu diantisipasi dengan tujuan untuk melindungi kepentingan konsumen terkait keamanan dana dan data serta kepentingan nasional terkait pencegahan pencucian uang, pendanaan terorisme, dan stabilitas sistem keuangan,” kata Dian.

Tags:

Berita Terkait