Evolusi Hak Asuh Anak dalam Putusan-Putusan Hakim
Kolom

Evolusi Hak Asuh Anak dalam Putusan-Putusan Hakim

Perkembangan hak asuh anak berusaha menjaga keseimbangan antara hak orang tua dan kepentingan terbaik bagi anak.

Kolase Riki Perdana Raya Waruwu(kiri) dan Muqtadir Ghani Putranto (kanan). Foto: Istimewa.
Kolase Riki Perdana Raya Waruwu(kiri) dan Muqtadir Ghani Putranto (kanan). Foto: Istimewa.

Problematika hak asuh anak dalam putusan-putusan hakim telah mengalami sejumlah perkembangan. Para hakim menyelaraskan rasa keadilan dan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan. Keadilan yang berlaku pada suatu waktu belum tentu berlaku adil pada waktu dan situasi lain. Butuh kecermatan, kesungguhan, serta keluasan pemahaman hakim dalam memutus perkara.

Perceraian merupakan salah satu sebab putusnya perkawinan yang tidak lagi dianggap tabu diperbincangkan. Data menunjukkan perkara perceraian di pengadilan tingkat pertama menempati posisi pertama dari berbagai klasifikasi. Jumlah perkara perceraian di Pengadilan Negeri pada tahun 2021 sebanyak 18.269 perkara dan sebanyak 18.203 perkara pada tahun 2022. Di sisi lain, jumlah perkara perceraian pada Pengadilan Agama pada tahun 2021 sebanyak 495.812 perkara dan sebanyak 496.876 perkara pada tahun 2022.

Baca juga:

Salah satu dampak putusnya perceraian ialah penentuan hak asuh terhadap anak. Pasal 41 huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) mengatur, “Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak, Pengadilan memberi keputusannya”. Ada 140 perkara hak asuh anak di Pengadilan Negeri pada tahun 2022, sementara ada 1.526 perkara penguasaan anak di Pengadilan Agama pada tahun 2022.

Yurisprudensi dan SEMA

Perkembangan hak asuh anak dalam putusan hakim Indonesia mencerminkan pengaruh perubahan sosial terhadap pemikiran hukum. Misalnya yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 126 K/Pdt/2001 menjadi salah satu pedoman para hakim di Pengadilan Negeri. Isinya memuat kaidah hukum, “Bila terjadi perceraian, anak yang masih di bawah umur pemeliharaannya diserahkan pada orang terdekat dan akrab dengan si anak yaitu Ibu”. Penyerahan anak di bawah umur fokus kepada orang terdekat, terutama ibu, dengan penekanan pada keberlanjutan ikatan emosional. Tercermin penekanan pada hubungan ibu-anak sebagai faktor utama dalam pemeliharaan anak.

Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 110 K/AG/2007 juga menjadi pedoman lain bagi para hakim di Pengadilan Agama. Isinya memuat kaidah hukum, “Pertimbangan utama dalam masalah hadlanah (pemeliharaan anak) adalah kemaslahatan dan kepentingan si anak, dan bukan semata-mata yang secara normatif paling berhak. sekalipun si anak belum berumur 7 (tujuh) tahun, karena si ibu sering bepergian ke luar negeri sehingga tidak jelas si anak harus bersama siapa, sedangkan selama ini telah terbukti si anak telah hidup tenang dan tentram bersama ayahnya, maka demi kemaslahatan si anak hak hadlanah-nya diserahkan kepada ayahnya”.

Kaidah Yurisprudensi Nomor 110 K/AG/2007 itu menekankan pada kemaslahatan dan kepentingan terbaik bagi anak. Fakta-fakta hubungan anak baik dengan ibu maupun ayah diuji melalui beberapa instrumen, seperti bentuk perhatian, kasih sayang, kesediaan waktu, dan kenyamanan anak. Semua itu dinilai akan menjamin tumbuh kembang anak secara optimal, baik fisik, mental, maupun sosial.

Tags:

Berita Terkait