Forum Dosen SBM ITB Butuh Dialog untuk Tuntaskan Konflik Kebijakan Rektor
Utama

Forum Dosen SBM ITB Butuh Dialog untuk Tuntaskan Konflik Kebijakan Rektor

Forum Dosen berharap Majelis Wali Amanat (MWA) sebagai organ tertinggi yang dapat menyelesaikan konflik jika tidak bisa diselesaikan oleh Senat sebagaimana tertuang dalam Statuta ITB dapat turut mengulurkan tangan dan bergerak untuk menyelesaikan konflik ini.

Ferinda K Fachri
Bacaan 5 Menit
Perwakilan Forum Dosen SBM ITB Prof. Jann Hidajat Tjakraatmadja. Foto: Istimewa
Perwakilan Forum Dosen SBM ITB Prof. Jann Hidajat Tjakraatmadja. Foto: Istimewa

Beberapa waktu terakhir, Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (SBM ITB) makin mendapat sorotan publik terkait konflik dengan pihak rektorat ITB. Sebagai institusi pendidikan yang mendapat mandat negara melalui UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, SBM ITB telah mengalami perkembangan mengelola dari SDM hingga keuangan secara mandiri. Sampai membuahkan kesuksesan dengan diraihnya 2 akreditasi internasional sebagai bentuk pengakuan dunia yakni dari The Alliance on Business Education and Scholarship for Tomorrow (ABEST 21) dan Association to Advance Collegiate Schools of Business (AACSB).

Namun begitu, dalam perkembangannya, hak swakelola yang semula dimiliki oleh SBM ITB berujung dicabut secara sepihak melalui terbitnya surat Wakil Rektor Bidang Keuangan, Perencanaan, dan Pengembangan ITB Muhamad Abduh No.1627/IT1.B06/KU.02/2021 yang membatalkan Peraturan Rektor No.016/PER/I1.A/KU/2015. Awalnya, dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan Rektor tersebut disebutkan SBM ITB bisa mengembangkan sistem manajemen mandiri atau swadana dan swakelola sejak didirikan pada 2003.

Menanggapi hal ini, para dosen yang tergabung dalam Forum Dosen SBM ITB menyerahkan petisi pada November 2021 lalu. Alih-alih memperoleh respon sebagaimana mestinya, jawaban yang diterima jajaran dosen justru didapati terbitnya Peraturan Rektor No. 1162/IT1.A/PER/2021 yang menguatkan surat dari wakil rector tersebut yang mencabut hak swakelola SBM ITB.

“Dulu awalnya kalau kita punya keinginan, kita rencanakan, targetkan, dan kita hitung berapa kebutuhan biayanya kemudian kita cari swadana. Sekarang ini agak ribet masalahnya itu, kita tidak terlalu mudah untuk dapat mengambil dana yang ada di pusat. Jadi banyak program yang telah direncanakan lebih sulit keluarnya,” ujar Perwakilan Forum Dosen SBM ITB Prof. Jann Hidajat Tjakraatmadja ketika dihubungi Hukumonline melalui sambungan telepon, Rabu (9/3/2022) kemarin.

Baca:

Padahal, lanjutnya, setelah mendapat akreditasi internasional, SBM diberikan sejumlah masukan dan saran perbaikan oleh AACSB agar bisa bertahan di level internasional. Untuk itu, pihak SBM telah merencanakan dan mempersiapkannya pada rencana kerja (RK) anggaran dalam 5 tahun. Tetapi, dengan prosedur yang panjang itu, berakibat pada banyak program-program yang terlambat atau bahkan dibatalkan. Salah satu yang dia contohkan adalah rencana mengundang dosen tamu yang tidak kunjung mendapat approval (izin).

Sebab panjangnya hierarki keputusan itu, timing dan jumlah dari program yang dicanangkan seringkali meleset. Walaupun Rektor ITB, kata dia, mengatakan adanya penyesuaian. Jann menilai dapat terjadi pula situasi dimana approval yang diberikan meski telah disesuaikan justru didapati pada waktu yang salah, sehingga menjadi tidak menguntungkan.

“Sebetulnya yang pertama menjadi rigid keuangannya, menjadi berjenjang (hierarcical), menjadi birokratis, dan menjadi tidak fleksibel. Tidak gesit lagi, itu yang (masalah, red) paling pokok,” lanjutnya.

Tags:

Berita Terkait