Ganti rugi psikis atas korban meninggal?
Imam Nasima(*)

Ganti rugi psikis atas korban meninggal?

Sebuah pernyataan (pertanyaan) hipotetis yang dilontarkan dalam rubrik jeda hukumonline berjudul ‘28 detik ketegangan seharga AS$ 2 juta', menarik minat penulis untuk mencari tahu seluk beluk ganti rugi psikis atas korban meninggal lebih jauh lagi.

Bacaan 2 Menit

 

Apabila kita melihat perbandingan serupa yang terjadi dalam sistem hukum Amerika, barangkali pendapat Lord Wensleydale di tahun 1861 dapat dijadikan penjelas. Beliau berpendapat: Mental pain and anxiety, the law cannot value, and does not pretend to redress, when the unlawful act complained of causes that allone. Karena tak bisa berdiri sendiri, ganti rugi atas cedera psikis pada mulanya hanya diakui dalam kaitannya dengan kerugian yang timbul akibat luka, cacat, atau cemarnya nama baik. Kerugian semacam ini disebut juga �parasitic damages'. Barulah di tahun 1948 ditetapkan dalam 46 Restatement of Torts bahwa: One who, without a privilege to do so, intentionally causes severe emotional distress to another is liable for such emotional distress and for bodily harm resulting from it. Ketentuan tersebutlah yang pada akhirnya menjadi pegangan hakim-hakim di Amerika untuk mengakui adanya ganti rugi psikis.

 

Dari kenyataan ini, setidaknya penulis menyimpulkan bahwa diakuinya ganti rugi psikis tidak bisa dipisahkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang pada akhirnya dapat mengenali gangguan-gangguan psikis tertentu. Sebab, sebagaimana pendapat Lord Denning di Inggris, pihak penggugat, melalui pernyataan medis, mesti telah dinyatakan menderita �any recognisable psychiatric illness'.

 

Di Amerika sendiri dikenal sistem diagnosa yang bersumber pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders yang dikembangkan oleh American Psychiatric Association dan International Classificitasion of Diseases versi WHO, untuk menetapkan adanya gangguan psikis serius. Ini sehubungan dengan ketentuan di negara bagian Kansas, misalnya, bahwa yang bisa menjadi dasar tuntutan ganti rugi psikis adalah gangguan psikis serius, yaitu gangguan psikis yang terbatas pada: �only highly unpleasant mental reactions such as fright, horror, grief, shame, embarrasment, anger, chagrin, disappointment, and worry.

 

Ganti rugi atas korban meninggal

 

Sebelum kita melangkah lebih jauh lagi, penulis ingin memperjelas dulu bahwa tuntutan ganti rugi atas korban meninggal bukanlah tuntutan yang datang dari korban yang meninggal. Dengan kata lain, gugatan datang dari pihak yang mengalami gangguan psikis serius akibat meninggalnya korban dan berhubungan langsung dengan insiden yang terjadi--di Amerika disebut juga bystander.

 

Jadi, kembali ke pembandingan kasus Mandala dengan America Airlines, mesti dipahami bahwa dalam kasus America Airlines penggugat adalah korban langsung (direct victim). Sehingga, meski pada intinya sama-sama berkisar masalah ganti rugi psikis, namun keduanya bukan merupakan hal yang identik. Untuk tuntutan ganti rugi dari korban yang selamat dan mengalami gangguan psikis, situasinya tentu saja lain. Korban yang mengalami langsung insiden tersebut (korban langsung), pada dasarnya lebih mungkin menerima ganti rugi psikis dibanding mereka yang terkena dampaknya secara tak langsung. Di sini penulis akan membatasi pembahasan pada kategori korban tersebut terakhir.

 

Ganti rugi psikis atas korban meninggal bagi ahli waris, keluarga, atau kerabat korban bukannya tidak kontroversial. Di sini setidaknya penulis mencoba mengutarakan satu hal mendasar sehubungan dengan keberlakuan moral dari ganti rugi seperti ini. Manusia pada dasarnya tidak ingin kehilangan orang yang dikasihinya. Bahkan kalaupun ganti rugi itu sebesar kekayaan Bill Gates, misalnya, secara hati nurani tidak akan cukup untuk mengganti hilangnya orang tersayang. Berapa, coba, nilai nominal orang yang anda kasihi? Dengan demikian, ganti rugi atas korban meninggal semestinya tidak dilihat sebagai nilai kompensasi, sebagaimana ganti rugi pada umumnya.

 

Penjelas dari ganti rugi tersebut bisa ditemukan pada nilai kompensasi atas cedera psikis yang diderita pihak penggugat, atau setidaknya pengakuan salah dari pihak yang telah berbuat salah atau lalai (appeasement) sehingga mengakibatkan meninggalnya korban, dan bukan pada nilai kompensasi atas meninggalnya korban.

Tags: