Ganti rugi psikis atas korban meninggal?
Imam Nasima(*)

Ganti rugi psikis atas korban meninggal?

Sebuah pernyataan (pertanyaan) hipotetis yang dilontarkan dalam rubrik jeda hukumonline berjudul ‘28 detik ketegangan seharga AS$ 2 juta', menarik minat penulis untuk mencari tahu seluk beluk ganti rugi psikis atas korban meninggal lebih jauh lagi.

Bacaan 2 Menit

 

Oleh karena sensitifnya permasalahan tersebut, maka KUH Perdata sendiri hanya mengaitkan lahirnya tuntutan dari pihak keluarga korban meninggal, dengan kemungkinan putusnya nafkah bagi keluarga korban. Aturan tersebut dapat kita temukan dalam pasal 1370. Menurut hemat penulis, ini berdasar pada pemikiran bahwa secara moral, menentukan nilai nominal tertentu untuk nyawa seseorang, adalah absurd adanya. Sehingga, yang diberikan adalah kompensasi atas putusnya nafkah keluarga korban. Dengan kata lain pendekatan material yang tetap dipakai untuk mengakui adanya ganti rugi bagi keluarga korban.

 

Meski begitu, gangguan psikis serius yang timbul akibat meninggalnya orang yang dikasihi, juga merupakan kenyataan yang tak bisa dipungkiri. Di samping itu, sebagaimana sudah penulis bahas dalam paragraf di atas, perkembangan ilmu dan teknologi diyakini telah dapat mengenali, sekaligus menjadi landasan akan adanya �cedera' yang tak nampak ini. Oleh karena itu, hukum pertanggungjawaban mau tak mau harus dapat mengikuti perubahan cara pandang masyarakat tersebut.

 

Namun demikian, sebagai fasilitator sekaligus mediator, hukum di samping harus dapat mengakomodir kepentingan korban tersebut, juga harus dapat melindungi kepentingan pihak tergugat. Dalam arti, seseorang wajib membayar ganti rugi pada orang lain, jika dan hanya jika dia mengakibatkan timbulnya kerugian pada orang tersebut (lihat juga konsep �harm principle' John Stuart Mill dalam On Liberty). Karenanya, tuntutan dari pihak ke tiga (tak langsung mengalami insiden) biasanya mesti memenuhi beberapa syarat tertentu.

 

Di dalam sistem hukum Amerika persyaratan tersebut beragam. Keberagaman tersebut, selain dipengaruhi keunikan setiap kasus, juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: di negara bagian mana tuntutan ganti rugi diajukan, ideologi hakim bersangkutan, maupun komposisi juri terpilih. Namun, sebagai gambaran abstrak dari perdebatan yuridis yang akan lahir, sekaligus penutup tulisan ini, penulis akan menyebutkan beberapa hal yang mungkin menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan tuntutan ganti rugi psikis dari pihak ketiga.

 

Dasar-dasar pertimbangan tersebut, atau yang dikenal sebagai basic principles of bystander recovery meliputi beberapa hal. Pertama, pihak ketiga harus berada di dekat atau pada tempat terjadinya insiden. Kedua, gangguan psikis yang timbul merupakan akibat dari menyaksikan sendiri insiden tersebut. Ketiga, pihak ketiga merupakan pasangan hidup atau masih saudara sampai derajat ke tiga dari korban meninggal. Keempat, setiap manusia pada umumnya mungkin dan dapat membayangkan betapa parah dan mematikannya cedera yang didera korban. Kelima, gangguan psikis haruslah merupakan gangguan psikis serius.  

 

 

 

(Penulis melampirkan daftar bacaan di file attachment untuk artikel ini)   

Tags: