Gerindra Ragu Jokowi Serius Ingin Revisi UU KPK
Berita

Gerindra Ragu Jokowi Serius Ingin Revisi UU KPK

Merevisi UU KPK tanpa terlebih dahulu melakukan revisi KUHAP dan KUHP bakal menjadi persoalan di kemudian hari.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: YOZ
Foto: YOZ
Keinginan sejumlah fraksi di DPR yang menghendaki agar revisi UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera diparipurnakan untuk mendapatkan persetujuan tingkat pertama, diragukan Fraksi Partai Gerindra. Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Gerindra, Desmond J Mahesa, menyangsikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bakal menerbitkan Surat Presiden (Surpres) sebagai tanda persetujuan dibahasnya RUU.

“Saya ingatkan kawan-kawan, kalau digolkan menjadi RUU tinggal menunggu Surpres. Kalau tidak ada Surpres DPR dikerjain. Saya khawatir kalau disahkan, Surpresnya tidak jadi juga. Saya pesimis ada Surpresnya,” ujar Desmond, di Gedung DPR, Rabu (17/2).

Pemerintah pernah mengusulkan revisi UU KPK di pertengahan 2015 lalu. Namun, akibat banyak tekanan penolakan dari publik, Jokowi menarik usul inisiatif dengan tidak menerbitkan Surpres. Bahkan, ada kesepakatan dengan parlemen untuk tidak menunda melakukan revisi UU KPK.

Desmond menilai Presiden Jokowi sebagai pemimpin yang tak tahan dengan tekanan publik. Menurutnya, ketiadaan Surpres sebagai bentuk ketidakseriusan pemerintah yang ingin merevisi UU KPK. Ia mengakui bahwa presiden sebagai pemegang kekuasaan berhak mengusulkan dan melaksanakan revisi UU. Hanya saja, kata Desmond, draf RUU KPK cenderung berisi melemahkan kewenangan KPK yang ada saat ini.

Desmond mengatakan, DPR dan pemerintah hendaknya bersabar bila ingin merevisi UU KPK. Revisi idealnya dilakukan setelah Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) dan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) dilakukan. Hal itu mengingat membahas kewenangan penghentian perkara di tingkat penyidikan, pengangkatan penyelidik dan penyidik independen merupakan bagian dari hukum acara pidana.

Merevisi UU KPK tanpa terlebih dahulu melakukan revisi KUHAP dan KUHP bakal menjadi persoalan di kemudian hari. Padahal, UU KPK merupakan hukum acara yang mengatur lembaga antirasuah itu dalam pemberantasan korupsi, yang sebagian pula merujuk dari KUHAP. “Hukum acara berlaku bagi semua lembaga, dengan catatan ada pengecualian untuk penyadapan,” ujarnya.

Anggota Komisi dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP), Risa Mariska, mengatakan partainya tetap mengusulkan UU KPK direvisi. PDIP pun bakal berjuang sekalipun pengambilan keputusan dalam rapat paripurna dilakukan dengan mekanisme voting. “Pada prinsipnya kita tetap konsisten. Kita lihat paripurna, bisa jadi voting,” ujarnya.

Mariska memahami penolakan dari berbagai kalangan masyarakat. Pasalnya, UU KPK merupakan aturan yang tergolong sensitif. Namun, ia berjanji revisi justru dalam rangka penguatan kewenangan KPK. “Karena draf yang kita usulkan tidak ada yang kita cabut, tapi kita tambah seperti SP3,” ujarnya.

Lebih lanjut, katanya, PDIP konsisten merevisi UU KPK dengan beberapa poin. Misalnya, pembentukan dewan pengawas. Menurutnya, selama 12 tahun KPK berdiri, perlu dilakukan pengawasan oleh lembaga. Tak ada jaminan KPK tak melakukan penyalahgunaan kewenangan. Keberadaan dewan pengawas menjadi keharusan. Begitu pula dengan penyadapan dapat dilakukan oleh KPK setelah mengantongi izin dewan pengawas.

“Tapi penyadapan pada saat mendesak bisa langsung dilakukan penyadapan,” ujarnya.

Anggota Komisi XI dari Fraksi NasDem, Johnny G Plate, mengatakan fraksinya bakal memberikan persetujuan revisi hanya terbatas pada empat poin. Yakni, penyadapan, kewenangan penghentian penyidikan perkara, dewan pengawas dan kewenanga pengangkatan penyidik independen. Namun, bila pemerintah belakangan berpandangan RUU KPK belum diperlukan dengan melihat respon masyarakat, fraksinya bakal mendukung.

“Apabila revisi dianggap tidak diperlukan dan pemerintah menganggap demikian, fraksi NasDem akan mendukungnya,” ujarnya.

Alat kontrol distribusi kekuasaan
Sementara itu, pengamat Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Khairun Ternate, Margarito Kamis, mengatakan publik semestinya tak alergi dengan perubahan sebuah perundangan-undangan. Hanya saja perubahan aturan mesti menjadi lebih baik, bukan sebaliknya. Dalam konsep negara, presiden sebagai pemegang kekuasaan hukum. Presiden pun mendistribusikan kekuasaan kepada lembaga, seperti KPK.

Namun, bila KPK tidak dapat dikontrol maka diperlukan media sebagai alat pengawasan. Konstitusi, kata Margarito, mengamanatkan presiden sebagai pemegang kekuasaan. Supaya pelaksanaan distribusi kekuasaan menjadi sehat maka dibutuhkan pengawasan terhadap KPK.

“Kalau tidak bisa dikontrol bagaimana coba. KPK kerjanya melaksanakan hukum, jadi tunduk UU,” ujarnya di Gedung DPD.

Ia menilai, masyarakat sampai kapan pun bakal tetap membutuhkan KPK. Sepanjang pemerintahan di sebuah negara berdiri maka korupsi bakal tetap bercokol. Meski menyetujui dilakukannya revisi, namun Margarito tidak menyetujui pasal penyadapan diubah. Aturan penyadapan yang dilakukan KPK saat ini dipandang sudah tepat.

“Soal penyadapan tidak usah pakai izin-izin. Kalau perlu KPK suruh tiap menit menyadap. Karena pemerintahan itu berproses dari menit ke menit. Tidak ada korupsi tanpa adanya sepakat menyepakat,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait