Getah Pahit Seorang Warga Negara Indonesia
Oleh: Enggi Holt *)

Getah Pahit Seorang Warga Negara Indonesia

Pada 17 Agustus ini, setiap warganegara dan penduduk merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 63. Selama 63 tahun merdeka, telah banyak keadaan yang dialami oleh bangsa dan Negara Indonesia. Pengalaman itu bisa berupa gejolak, perubahan, pencapaian, bahkan kemunduran. Semua itu adalah bagian dari dinamika kehidupan bernegara.

Bacaan 2 Menit

 

Hak kepemilikan seorang WNI dalam perkawinan campuran

Barometer kepemilikan tanah yang diatur dalam UUPA didasarkan pada status hukum seseorang. Syarat mutlak untuk menjadi pemegang berbagai jenis hak atas tanah, adalah warga negara Indonesia yang tidak memegang kewarganegaraan dari negara lain.

 

Dari berbagai jenis hak atas tanah, hak milik adalah hak yang tertinggi dan terpenuh yang hanya dapat dimiliki oleh seorang WNI (lihat pasal 21 ayat 1 UUPA). Barometer ini tidak berlaku bagi seorang WNI yang menikah dengan warganegara lain/asing (perkawinan campuran), meskipun ia tetap berstatus sebagai WNI tanpa memegang kewarganegaraan lain. Orang ini, dipaksa untuk tunduk pada peraturan yang diperuntukan bagi orang asing (pasal 21 ayat 3 UUPA).

 

Bagaimana keadaan memaksa tersebut? Keadaan ini terjadi bila seorang WNI menikah dengan seorang WNA (perkawinan campuran) tanpa disertai perjanjian kawin. Dasar pegangan pejabat yang ditunjuk untuk mengurus soal pertanahan, baik Notaris/PPAT atau penerbit sertifikat pertanahan untuk menolak memberikan kepastian hukum atas perbuatan pembelian tanah dan bangunan bagi WNI yang menikah dengan WNA tanpa perjanjian kawin  adalah pasal 21 ayat (3) UUPA yang berbunyi:

 

(3) Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan-tanpa-wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warganegara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.

 

Sehingga, berdasarkan pasal 21 ayat (3) UUPA dan dengan adanya percampuran harta akibat karena perkawinan, bagi WNI dalam perkawinan campuran, syarat utama untuk menikmati hak kepemilikannya sebagai WNI bertambah lagi yaitu:

  1. Warga negara Indonesia Tunggal;
  2. Bukan seorang Warganegara Indonesia yang mempunyai kewarganegaraan lain;
  3. Bukan seorang Warganegara Asing.
  4. Memegang perjanjian kawin.

 

Tanpa sebuah perjanjian kawin, seorang WNI dari perkawinan campuran tidak dapat menikmati berbagai jenis hak kepemilikan atas tanah yang disediakan oleh UUPA bagi Warga Negara Indonesia. Mereka ini langsung digolongkan kepada subjek hukum yang hanya berhak untuk mendapatkan Hak Pakai saja. Padahal jelas-jelas syarat penentu untuk memiliki hak atas tanah adalah status kewarganegaraannya, apakah ia tetap berwarga negara Indonesia atau tidak. Peleburan hukum secara serta merta akibat perkawinan tidak lagi dikenal dalam hukum nasional; setiap orang diakui haknya secara penuh dan berdiri sendiri.

Tags: