Getah Pahit Seorang Warga Negara Indonesia
Oleh: Enggi Holt *)

Getah Pahit Seorang Warga Negara Indonesia

Pada 17 Agustus ini, setiap warganegara dan penduduk merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 63. Selama 63 tahun merdeka, telah banyak keadaan yang dialami oleh bangsa dan Negara Indonesia. Pengalaman itu bisa berupa gejolak, perubahan, pencapaian, bahkan kemunduran. Semua itu adalah bagian dari dinamika kehidupan bernegara.

Bacaan 2 Menit

 

Hukum perkawinan sebagaimana diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan hukum kewarganegaraan (UU No. 12 Tahun 2006) tidak mengenal peleburan hukum dalam sebuah perkawinan campuran. Namun, prinsip-prinsip lama tentang peleburan dan penyatuan hukum dalam sebuah perkawinan campuran tetap menggayuti dan sangat sulit dihilangkan. Bahkan berdasarkan pengamatan penulis, telah mendarah daging di setiap lini pengaturan pertanahan, baik mulai dari pejabat Notaris/PPAT hingga Badan Pertanahan Nasional BPN) selaku instansi penerbit sertifikat bukti kepemilikan.

 

Sayangnya, unsur asing lebih ditonjolkan ketimbang kekuatan hak asasi seorang WNI sebagai dasar bahan pertimbangan pejabat dalam proses penerbitan hak kepemilikan. Akibat dari penonjolan unsur asing tersebut, hingga kini WNI yang menikah dengan WNA tanpa memiliki perjanjian kawin, merasakan getah pahitnya. 

 

Seharusnya bila mengikuti asas lex re sitae/lex loci situs, maka ketentuan dalam pasal 21 ayat (3) UUPA tidak berpengaruh banyak, karena prinsip yang menentukan adalah hukum dimana benda itu terletak. Sementara dalam UUPA, ketentuan yang berlaku menyatakan bahwa sepanjang pemegang hak milik tersebut adalah seorang WNI, maka ia berhak untuk memegang hak tertinggi dan terpenuh dalam bidang pertanahan, yaitu hak milik. Berdasarkan pasal 21 ayat (1) UUPA, seharusnya status hukum dari pasangan Indonesia-lah yang lebih ditampilkan, dan bukan sebaliknya. Namun yang terjadi justru nuansa asing yang lebih diperhitungkan.

 

Ketentuan dari Pasal 28D ayat (1), Pasal 28 G ayat (1), pasal 28 H ayat (2) dan ayat (4), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 sebenarnya mencerminkan betapa besar kerugian imateril dan materil seorang WNI dalam perkawinan campuran, bila ketentuan dari pasal 21 ayat (3) dari UUPA dijadikan barometer kepemilikan tanah yang lebih cenderung memberatkan unsur asingnya daripada status hukum seorang WNI.

 

Dari segi imateriil: Sebagai seorang manusia yang hak konstitusinya jelas-jelas tercantum dalam UUD 1945, sebagai seorang WNI mestinya selain mempunyai hak untuk memilih (right to vote), seharusnya ia juga mempunyai hak untuk memiliki tanah dan bangunan yang tertinggi dan seutuhnya, terlepas dari status perkawinannya. Dari segi materiil: ia tidak dapat memiliki tanah dan bangunan dengan hak yang tertinggi dan terpenuh serta dapat dialihkan secara turun temurun. Belum lagi, bila berbicara tentang nilai investasi, rumah dan tanah yang dijual dengan Hak Pakai akan mempunyai daya jual yang rendah dibandingkan dengan nilai tanah dan bangunan di atas tanah berstatus Hak Milik. Lebih jauh lagi, jika ia hendak menggunakan Hak Pakai atas tanah sebagai jaminan pendukung usaha, akan sulit meyakinkan lembaga perbankan untuk menerima objek jaminan tanah dengan Hak Pakai.

 

Keadaan ini, jelas-jelas tidak dapat dibiarkan berlarut-larut. Perjanjian kawin adalah sebuah kesepakatan antara kedua belah pihak, namun jika sistem pertanahan di Indonesia masih mengikuti asas keterbatasan, dimana WNI ikut terkena imbasnya, maka perjanjian kawin bukan lagi berdasarkan kesepakatan, namun berdasarkan pemaksaan keadaan. Siapa didunia ini yang senang dipaksa untuk berbuat sesuatu? Jawabannya dapat dipastikan tidak ada.

 

Bagaimana solusinya?

Ada beberapa alternatif yang dapat menjawab permasalahan ini. Pertama, dengan segala rasa hormat atas segala ketentuan dalam UUPA yang telah banyak membantu pembangunan sektor pertanahan di Indonesia, namun sudah tiba saatnya agar UUPA ini lebih disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang makin beragam di Indonesia. Salah satunya adalah dengan melakukan upaya penyisiran atas segala ketentuan-ketentuan dalam UUPA berdasarkan prinsip kehati-hatian. Tidak bisa dipungkiri bahwa UUPA yang disahkan tahun 1960 itui, pada perjalanannya telah banyak tertinggal dengan dinamika perkembangan dan kebutuhan masyarakat di  bidang pertanahan. Hal yang dirasakan cukup krusial berkaitan dengan tulisan ini adalah meninjau ulang pasal 21 ayat (3) dan ayat (4) yang erat kaitannya dengan hak seorang WNI dalam perkawinan campuran, baik yang menyangkut pelaku perkawinan campuran maupun keturunan dari perkawinan campuran yang telah diberikan kewarganegaraan ganda terbatas berdasarkan UU No. 12 Tahun 2006.

Tags: