Guru Besar Hukum Minta Indonesia Keluar dari ICSID
Berita

Guru Besar Hukum Minta Indonesia Keluar dari ICSID

Yang harus diperbaiki adalah Bilateral Investment Agreement.

HRS
Bacaan 2 Menit

Belum lagi ketika sengketa tersebut terjadi antara investor asing dengan pemerintah daerah. Sementara itu, pemerintah pusat tidak lagi mempunyai kendali kuat terhadap pemerintah daerah. Padahal perbuatan pemerintah daerah akan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dimata ICSID dan investor asing. Contohnya,kasus Churcill Miningdi mana Indonesia diminta membayar ganti rugi AS$2 miliar.

Meskipun misalnya Indonesia berada “di atas angin”, Hikmahanto mengatakan Indonesia akan tetap kalah. Ia mengkhawatirkan arbiter yang dipilih tidak sensitif terhadap kondisi negara berkembang seperti Indonesia. Arbiter yang terpilih terbiasa dengan kondisi negara mereka yang kebanyakan adalah negara-negara maju.

Kerugian lain bergabung dengan ICSID adalah biaya. Biaya yang harus dikeluarkan pemerintah akibat bersengketa di ICSID sangat besar, termasuk biaya pengacara yang digunakan pemerintah. Belum lagi ketika menanggung pembayaran ganti rugi ketika kalah. “Saya tidak rela uang APBN digunakan untuk itu,” kritiknya lagi.

Melihat kondisi ini, Hikmahanto mengharapkan pemerintah untuk melirik Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) jika terjadi konflik antara investor asing dengan pemerintah Indonesia seperti layaknya investor-investor Indonesia. Penggunaan ranah PTUN karena ICSID tersebut pada dasarnya bukanlah arbitrase layaknya BANI atau badan arbitrase internasional lainnya karena pihak yang bersengketa adalah pemerintah dengan pengusaha.

“Sudah saatnya Indonesia keluar dari ICSID. Jangan merasa lemah  kalau investor asing tidak mau berinvestasi di Indonesia. Confident pemerintah itu yang kurang,” pungkasnya.

Tak setuju

Direktur Perjanjian Ekonomidan SosialBudaya,Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian InternasionalKementerian Luar Negeri Abdul Kadir Jaelani kurang sepakat dengan pemikiran Guru Besar FHUI ini. Menurutnya, Indonesia tidak perlu harus keluar dari ICSID.

Perkara Indonesia sering digugat dan kalah di ICSID bukanlah persoalan Indonesia menjadi anggota lembaga penyelesaian sengketa tersebut, melainkan karena BIT. BIT adalah landasan awal untuk berperkara di ICSID sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Konvensi ICSID, yaitu apabila dalam BIT tersebut para pihak setuju jika terjadi sengketa diselesaikan di ICSID, maka perkara itu diselesaikan di sana.

Poin yang harus diperhatikan, kata Jaelani, adalah klausul-klausul yang ada di BIT. Mulai dari pengaturan mengenai sektor-sektor mana yang harus dilindungi pemerintah hingga scope of investment-nya.“Jadi, bukan karena ICSID-nya, tetapi karena BIT-nya dan saya pikir kita masih perlu BIT,” tandasnya.

Tags:

Berita Terkait