Guru Besar Ini Bicara PHK Alasan Force Majeure Dampak Covid-19
Utama

Guru Besar Ini Bicara PHK Alasan Force Majeure Dampak Covid-19

Perusahaan dapat melakukan PHK karena perusahaan tutup disebabkan keadaan memaksa (force majeure) dan alasan efisiensi. Situasi pandemi Covid-19 saat ini harus dipahami pengusaha dan pekerja sebagai pihak yang sama-sama terdampak untuk mencari solusi terbaik.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Mewabahnya Covid-19 membuat seluruh aktivitas kegiatan masyarakat terbatasi, termasuk kegiatan operasional sebuah perusahaan. Terkendalanya operasional tentu berdampak terhadap pemasukan yang diperoleh perusahaan. Akibatnya, perusahaan kesulitan memenuhi kewajibannya memenuhi hak-hak normatif pekerja/buruhnya. Bahkan, bisa mengambil langkah PHK pekerja/buruhnya.

 

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Prof Aloysius Uwiyono melihat wabah pandemi Covid-19 berdampak terhadap pekerja, pengusaha, dan pemerintah. Bagi perusahaan yang sama sekali tidak mampu menghadapi dampak Covid-19 bisa menempuh langkah pemutusan hubungan kerja (PHK).

 

Aloysius menilai pengusaha dapat melakukan PHK karena perusahaan tutup mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 tahun atau keadaan memaksa (force majeure). Namun, perusahaan harus membuktikan terlebih dulu adanya kerugian yang menyebabkan perusahaan tutup. Baginya, wabah pandemi Covid-19 (global) tergolong keadaan memaksa karena menyebabkan pengusaha dan buruh (terpaksa) dilarang untuk melaksanakan aktivitas pekerjaannya seperti biasa.

 

“Jika dampak Covid-19 menyebabkan perusahaan merugi, sehingga tidak dapat menjalankan produksi (tutup, red), maka dapat dilakukan PHK dengan alasan force majeure,” kata Aloysius dalam seminar secara daring bertajuk “Aspek Hukum PHK, Unpaid Leave, WFH, THR, Serta kewajiban pengusaha Terhadap Pekerja di Saat Situasi Pandemi Covid-19” di Jakarta, Rabu (22/4/20020).

 

Baca Juga: Menaker: PHK Langkah Terakhir Hadapi Dampak Covid-19  

 

Mengutip Pasal 164 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Aloysius menuturkan pengusaha yang melakukan PHK karena perusahaan tutup disebabkan mengalami kerugian atau keadaan memaksa wajib membayar pesangon sebesar 1 kali ketentuan sesuai Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai Pasal 156 ayat (4).

 

Namun begitu, jika tidak melakukan PHK, Aloysius menyarankan pengusaha dan buruh berunding untuk mencari solusi terbaik. Misalnya, pengusaha meliburkan pengusahanya dan membayar upah dengan menerapkan ketentuan Pasal 93 UU Ketenagakerjaan yakni upah yang dibayarkan untuk buruh yang sakit yaitu 4 bulan pertama sebanyak 100 persen upah; 75 persen untuk 4 bulan berikutnya; 50 persen; dan seterusnya.

 

Untuk perusahaan yang menerapkan kebijakan cuti di luar tanggungan (unpaid leave) saat pandemi Covid-19, menurut Aloysius ini merupakan hak pekerja, bukan pengusaha. Dalam situasi normal, cuti di luar tanggungan ini diberikan karena menguntungkan perusahaan, misalnya pekerja mendapat beasiswa, sehingga tidak dapat bekerja seperti biasa.

 

“Pengusaha tidak bisa sepihak memutuskan pekerja untuk cuti di luar tanggungan karena ini hak pekerja,” ujarnya.

 

PHK alasan efisiensi

Praktisi Hukum Ketenagakerjaan Aulia Kemalsjah Siregar, menilai peraturan ketenagakerjaan yang ada sekarang dibuat dengan asumsi situasi normal, sehingga tidak bisa mengantisipasi keadaan abnormal seperti pandemi Covid-19 ini. Karena itu, pandemi Covid-19 dapat digolongkan situasi force majeure yang berdampak serius bagi perusahaan.

 

Akibat pandemi Covid-19, Kemalsjah menilai umumnya kegiatan bisnis perusahaan terhambat, sehingga berdampak pula bagi pemasukan dan biaya operasional. Hal ini mengurangi kemampuan perusahaan, termasuk dalam hal memenuhi hak-hak normatif pekerja, seperti upah. Menurutnya, dampak Covid-19 terhadap perusahaan sangat beragam, ada yang tidak mampu membayar seluruh atau sebagian hak normatif pekerja, tapi ada juga perusahaan yang masih mampu menunaikan kewajibannya.

 

Bagi perusahaan yang tidak dapat bertahan dan harus melakukan PHK, Kemalsjah berpendapat PHK bisa dilakukan dengan alasan efisiensi sebagaimana diatur Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Kompensasi pesangon yang harus dibayar yakni 2 kali ketentuan Pasal 156 ayat (2); uang penghargaan masa kerja sebesar 1 kali ketentuan pasal 156 ayat (3); dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

 

“Kalau perusahaan tidak punya uang, yaa bisa dilakukan sesuai kesepakatan antara pengusaha dan pekerja,” saran dia.

 

Menurut Kemalsjah, situasi pandemi Covid-19 saat ini harus dipahami pengusaha dan pekerja sebagai pihak yang sama-sama terdampak. Sebab, tidak ada pihak yang menginginkan terjadinya wabah ini. Karena itu, untuk memenuhi hak normatif pekerja dalam kondisi saat ini harus memperhatikan kemampuan perusahaan. Jika perusahaan tidak punya kemampuan, tentunya tidak akan mampu membayar.

 

Soal pemotongan upah sampai di bawah upah minimum, Kemalsjah menyebut ketentuan upah minimum berlaku dalam situasi normal. Ada sanksi jika pengusaha tidak membayar upah sesuai ketentuan. Tapi dalam situasi abnormal saat ini karena Covid-19, pengusaha dapat melakukan pemotongan upah.

 

Win-win solution

Kepala Dinas Ketenagakerjaan, Transmigrasi, dan Energi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Andri Yansyah mengatakan pihaknya banyak menerima permohonan pengusaha untuk melakukan penangguhan upah dan THR. Secara normatif, hak normatif pekerja itu harus tetap dibayar, tapi faktanya perusahaan sulit menunaikannya.

 

“Kami sudah menerbitkan edaran yang intinya mengimbau perusahaan tidak melakukan PHK. Daripada PHK lebih baik pekerja dirumahkan dan upahnya tetap dibayar,” kata dia..

 

Kendati demikian, Andri mengakui ada perusahaan terdampak Covid-19 sudah melakukan PHK dan merumahkan pekerjanya dengan upah dibayar penuh atau tidak. Dalam menangani perselisihan ketenagakerjaan yang muncul, Disnakertrans menekankan agar ada solusi bersifat win-win yang disepakati pengusaha dan pekerja.

 

Untuk diketahui, data Kemenaker per 20 April 2020, jumlah pekerja yang terdampak Covid-19 totalnya sebanyak 2.084.593 pekerja dari sektor formal dan informal yang berasal dari 116.370 perusahaan. Rinciannya jumlah perusahaan dan pekerja formal yang dirumahkan adalah 1.304.777 dari 43.690 perusahaan dan pekerja formal yang di-PHK sebanyak 241.431 pekerja dari 41.236 perusahaan. Sedangkan sektor informal juga kehilangan 538.385 pekerja yang terdampak dari 31.444 perusahaan atau UMKM.

 

Temukan/Nikmati Akses Tanpa Batas Koleksi Peraturan Perundang-undangan dan FAQ Terkait Covid-19 di sini.

Tags:

Berita Terkait